Penelitian Lintas Kawasan - Belajar dari Sesama
National Chengchi University’s Center for Southeast Asian Studies
Penulis‧Sharleen Su Foto‧CSEAS
Desember 2019
一個多小時飛行時間,菲律賓與台灣在同一時區內,竟然在社會、經濟、勞工等議題上,也有著相似的問題。政大東南亞研究中心的青年學者,正透過學術圈平台鏈結的力量,扣敲問題的核心,希望為亞洲的土地改革、貧窮與文化保存等問題,找出一條解決之道。
Taiwan dan Filipina terletak di zona waktu yang sama, jarak antara keduanya dapat ditempuh dalam 1 jam durasi perjalanan. Dan ternyata keduanya memiliki permasalahan serupa: seperti sosial, ekonomi dan perburuhan. Para cendekiawan muda di National Chengchi University’s Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), memanfaatkan platform akademik, untuk mencari inti permasalahan, dengan harapan dapat menyelesaikan ragam persoalan di Benua Asia, termasuk reformasi tanah, kemiskinan dan pelestarian budaya.
Setelah mobil bergerak meninggalkan Kota Manila, akhirnya kami dapat terlepas dari cengkeraman kemacetan Ibukota.
Tahun lalu, 15 pelajar asal Taiwan, Filipina, Kamboja dan Vietnam turut berpartisipasi dalam rangkaian lokakarya Winter School for Advanced Philippine Studies perdana. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama CSEAS dengan Philippines’ Southeast Asian Studies Regional Exchange Program (SEASREP) dan National Chi Nan University’s Department of Southeast Asian Studies, serta Taiwan Asia Exchange Foundation (TAEF). Lokakarya ini bertujuan untuk melatih cendekiawan muda Taiwan dan Asia untuk lebih mengenal isu-isu di Asia Tenggara.
Setiap siswa akan mengikuti rangkaian studi selama 9 hari dengan menelusuri fenomena perubahan sosial di Filipina. Mereka juga akan merasakan suasana padat di Filipina, yang terkenal macet di Asia. Untuk mendalami interaksi budaya setempat, para siswa diajak untuk berkunjung ke Kota Baguio. Perjalanan panjang dimulai dari Ibukota Manila, dengan mengendarai kendaraan selama 6 hingga 8 jam. Pemandangan di luar jendela perlahan-lahan berubah, dari ramainya suasana kota hingga heningnya situasi pedesaan. Perjalanan ke utara tersebut menghadirkan pemandangan kesenjangan antara kota dan desa, yang membuat para siswa terpana. Lokakarya musim dingin ini, adalah bagian dari pertukaran antara CSEAS dan kelompok akademisi Asia Tenggara.
Pada tahun 2016, National Chengchi University (NCCU), mendirikan CSEAS, dengan tujuan untuk mempromosikan proyek penelitian lintas wilayah di Asia Tenggara, meliputi hubungan internasional, kebijakan diplomatik, ekonomi politik, sosial budaya dan suku bahasa. Selain itu, CSEAS juga aktif memperkuat pertukaran dan kerja sama antara NCCU dan institusi akademik terbaik, terutama mengenai studi internasional Asia Tenggara.
Integrasikan Pusat Penelitian Terbaik Dunia
“NCCU terus memperkuat penelitiannya di Asia Tenggara. NCCU telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan 10 pusat penelitian terbaik di Asia Timur”. Salah seorang peneliti CSEAS, Ong Nga-ping, mengilustrasikannya ibarat akademik blockchain dalam dunia para akademisi. Di tahun 2015, NCCU membentuk ‘Kantor Persiapan CSEAS’. Melalui promosi yang didorong oleh peneliti dari Academia Sinica’s Institute of Sociology, Dr. Michael Hsiao, bekerja sama dengan Pusat Penelitian Asia Tenggara Universitas Kyoto, lalu menunjuk Deputi Direktur Institut Hubungan Internasional (IIR) NCCU, Profesor Alan Yang, untuk menjabat sebagai CEO. Selanjutnya lembaga tersebut menjalin kemitraan dengan beberapa institusi pendidikan, seperti Vietnam Academy of Social Science’s Institute for Southeast Asian Studies dan SEASREP di Filipina.
Beragam kegiatan sering digelar oleh CSEAS. Lokakarya Musim Dingin di Filipina adalah salah satu praktik nyata, yang menjadi bagian dari pertukaran tenaga berbakat. Kegiatan ini membantu cendekiawan muda untuk mengamati setiap permasalahan sosial dari sudut pandang yang berbeda. “Melalui workshop ini, para siswa dapat mempelajari “Perspektif”, kemudian mengamati fenomena yang terjadi di lapangan. Anda dapat menemukan, bahwa Taiwan memiliki banyak permasalahan yang serupa dengan negara-negara di Asia Tenggara”, papar Ong Nga-ping.
Sebagai contoh, kunjungan yang pernah dilakukan Ong Nga-ping bersama teman sekelas ke Terasering Sawah Ifugao, Filipina. Pada tahun 1995, Terasering Sawah Ifugao memperoleh sertifikat UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia. Sistim irigasi terbesar yang merupakan kearifan lokal masyarakat tersebut, turut mendapat pukulan akibat perubahan sosial yang signifikan. Kawasan terasering setempat tengah mengalami persoalan, seperti kaum muda yang memilih untuk pindah keluar, longsornya lahan dan memudarnya ritual adat istiadat lokal. “Inilah permasalahan serupa yang dihadapi Taiwan dan Filipina”.
Pahami Kehangatan Kawasan Setempat
Melalui pertukaran akademis tersebut, cendekiawan muda Taiwan menjadi lebih paham akan persoalan tanah di Filipina. Reformasi pertanahan di Filipina gagal, sejumlah penduduk pedesaan-pun mengadu nasib ke Ibukota Manila. Di tengah hiruk pikuknya kehidupan perkotaan, membuat penduduk asli Baguio semakin mencintai kampung halaman sendiri. “Saat kami membaca pengetahuan ini dari buku-buku, kami tidak merasakan apa pun. Namun, ketika tiba di sini, kami lebih dapat merasakan apa yang dipikirkan oleh warga setempat”. Sambil melihat foto-foto yang dikirimkan oleh para siswa, Ong Nga-ping pun terkadang tersenyum. “Keindahan terasering sawah ini baru dapat terasa, ketika Anda tiba di tempat ini”. “Mendengar nyanyian tradisional "Hudhud", sambil merasakan kekuatan serta keindahan dari perpaduan manusia dengan tanah. Inilah yang membuat penelitian lintas kawasan menjadi sangat menarik”.
Kemitraan Sumber Kekuatan Para Peneliti
Bulan Agustus tahun ini, CSEAS menggelar “ASEAN Cultural and Economic Development Cross-Country Internship Program: Taiwan-Thailand Exchange”. Para siswa dikirim ke Thailand untuk mengikuti pelatihan. Selain bertemu dengan organisasi NGO Thailand Labour Rights Promotion Network Foundation (LPN), para siswa juga dibawa untuk menyelami isu eksploitasi tenaga kerja setempat dan diajak berkunjung mengamati kehidupan tepi sungai di Pasar Apung Amphawa.
“Rencana perjalanan seperti ini, sangat jarang terjadi”, papar Ong Nga-ping. Terlebih lagi dengan kunjungan ke organisasi NGO setempat, untuk membahas persoalan eksploitasi tenaga kerja. Bagi sarjana pada umumnya, sangat sulit untuk masuk ke dalam ranah tersebut, untuk melakukan pengamatan langsung dari jarak dekat. Warasiriphong Chittaworn, seorang mahasiswa tingkat doktor di Institut Kajian Asia Timur NCCU, bertindak sebagai perantara. Pertemuan ini dikoordinasi oleh Wakil Dekan College of Interdisciplinary Studies Universitas Thammasat Thailand, Dr. Rungnapa Thepparp, yang memiliki relasi cukup baik dengan organisasi NGO setempat. Dalam kurun waktu yang singkat, dapat diperoleh materi penelitian yang mumpuni. Hal ini memperlihatkan pengaruh akademik yang dimiliki oleh CSEAS NCCU. “Kini, NCCU memiliki sejumlah lokakarya dan seminar internasional yang berkaitan erat dengan Asia Tenggara setiap minggunya. Dan juga beragam perjanjian kerja sama dan pertukaran dengan negara Asia Tenggara. Banyak cendekiawan yang datang berkunjung. Persahabatan yang terjalin erat seperti ini belum pernah terlihat sebelumnya.
Bertindak sebagai wadah pemikir Asia Tenggara, CSEAS NCCU menyediakan platform akademik yang memiliki pengaruh bagi ranah penelitian ilmu sosial, dengan mengintegrasikan seluruh peneliti Asia Tenggara di seluruh dunia. Platform ini juga mendorong cendekiawan muda untuk mempresentasikan keunggulan yang lebih maksimal.