Transformasi Kerajinan Bambu
Desain Tradisional dan Modern
Penulis‧Lynn Su Foto‧Lin Min-hsuan Penerjemah‧Amina Tjandra
Desember 2024
Karya anyaman “Fish Trap House” dari Feng Cheng-tsung merupakan transformasi dari kerajinan tangan alat perangkap ikan tradisional suku Thao. (Sumber: Feng Cheng-tsung)
Dalam masyarakat komersial yang dipenuhi dengan kekayaan materi, senantiasa ada banyak komoditas yang ditawarkan untuk dikonsumsi, akan tetapi jika kilas balik perabot sehari-hari pada era industri pertanian, kita bisa merasakan perabot tersebut memancarkan estetika yang tidak lekang oleh waktu.
Pada suatu hari dengan terik matahari yang menyengat, kami mengunjungi Institut Riset dan Pengembangan Kerajinan Tangan Nasional Taiwan (National Taiwan Craft Research and Development Institute, yang selanjutnya disingkat dengan NTCRI) di Caotun, Nantou. Kami duduk di bangku bambu “Kursi 43”, yang terbuat dari 43 batang bambu moso (Phyllostachys edulis) lokal, setelah diolah dan dibentuk menjadi lengkungan yang tak beraturan, lalu disusun menjadi kurva yang ergonomis dan halus. Desain kursi cantilever yang langka, suatu dobrakan pemakaian bahan untuk membuat kursi cantilever, yang sebelumnya terbatas menggunakan bahan stainless steel dan plastik. Ketika duduk di kursi ini, akan timbul suatu perasaan yang tak asing bagi orang Taiwan, sama seperti berbaring di atas tikar bambu dan merasakan kesejukan.
Interpretasi “Rekam Jejak” Bambu
Direktur NTCRI Chen Tien-li berbagi, keterampilan seni merupakan jembatan penghubung industri pertanian hingga komunitas komersial, juga merupakan cikal bakal dari produk industri. Pada era sebelum produksi massal, produk keperluan manusia sehari-hari kerap kali adalah produk berbahan lokal. Segala keperluan manusia baik pangan, sandang, papan, transportasi maupun hiburan, semua memerlukan keterampilan seni. Jika melihat masa lalu, produk kerajinan tangan menggunakan bahan rendah karbon, ramah lingkungan dan berkelanjutan, diproduksi sendiri, dipasarkan sendiri, digunakan sendiri, semua ini memenuhi semangat ESG (Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola).
Di antaranya, bambu bisa dikatakan sebagai kerajinan tangan yang paling representatif di Taiwan. Nama tua dari Hsinchu yakni “Zhuqian (atau palung bambu)” dipinjam dari nama bambu duri, sedangkan nama lain dari Nantou adalah “Zhushan (atau gunung bambu)” karena kaya akan bambu. Ini menunjukkan adanya relasi yang mendalam antara bambu dan masyarakat Taiwan dalam kehidupan sehari-hari, juga menjadi alasan mengapa Taiwan terpilih menjadi lokasi penyelenggaraan 2024 Bamboo Expo and World Bamboo Congress.
Kepala Divisi Desain NTCRI, Hsu Fong-chi mengajak kami berkunjung ke pameran khusus “Bamboo Traces+” yang digelar oleh NTCRI. Arena pameran lantai pertama menyajikan kursi bambu karya rancangan Yen Shui-long(1903–1997). Yen menyederhanakan kursi bambu tradisional dan merancang desain gambarnya. Karya kursi ruang tamu yang terkenal “Chair Harbingers” dengan dudukan kursi yang agak miring, garis yang rapi dan sederhana, susunan ruas bambu yang berurutan secara logis, membuat kita dapat merasakan upaya awal perpaduan keterampilan tradisional dengan desain modern.
Selanjutnya, produk kerajinan tangan tradisional yang ditampilkan mencakup beberapa karya dari seniman maestro nasional seperti Huang Tu-shan (1926–2020), Li Jung-lieh, dan Chang Hsien-ping. Berjalan naik ke lantai 2, yang dipamerkan adalah desain seni bambu kontemporer, antara lain produk merek “Yii” yang diluncurkan oleh NTCRI; karya “Kursi 43” yang sangat menakjubkan; desain anyaman bola bambu “Bubble Sofa” karya dari Chou Yu-jui yang pernah menjadi sampul majalah Italia; bangku bambu “Bambool” hasil kolaborasi desain Chou Yu-jui dan Su Su-jen; gantungan baju “Bambo Strips” yang didesain oleh Chu Chih-kang dan Yeh Chi-hsiang; rangkaian benda yang terbuat dari bambu seperti botol merica, stoples dan lainnya yang didesain Filipina Rachelle Dagñalan dan penanggung jawab studio “Bamboola Taiwan 1980” Larry Liu. Semuanya memberikan pengenalan tentang pemakaian produk berbahan bambu.
Direktur Institusi Riset dan Pengembangan Kerajinan Tangan Nasional Taiwan (NTCRI) Chen Tien-li menekankan, kerajinan seni menonjolkan kearifan lokal memenuhi semangat ESG.
Pameran khusus “Bamboo Traces+” menyajikan harta karun karya seni bambu tingkat nasional.
Karya “Kursi 43” terbuat dari 43 batang bambu yang melengkung, merupakan kursi cantilever yang tiada duanya di dunia.
Kursi “Chair Harbingers” hasil desain Yen Shui-long merupakan upaya awal bereksperimen memadukan seni tradisional dan desain modern.
Kecerdasan yang Tersaring oleh Waktu
Dari tradisional memasuki era modern, “Tahukah Anda? Sebagian besar orang beranggapan bahwa kerajinan seni tradisional sangat ‘melelahkan’, akan tetapi sebenarnya produk tradisional ini sangat ‘cerdas’,” ujar seniman Feng Cheng-tsung. Kata-kata yang disampaikannya memberikan kesan yang mendalam.
“Flow” yang ditampilkan dalam pameran “Bamboo Traces+” merupakan karya dari Feng Cheng-tsung. Bagian dasar dari kursi ditopang oleh 3 poros bola-bola anyaman bambu, dan dudukan kursi terbuat dari ruas bambu yang menonjolkan lekukan-lekukan halus setelah dibakar, kemudian dibentuk menjadi sebuah kursi baring yang santai dan elegan.
Feng yang menekuni studi desain industri, merintis bisnis sendiri dengan mengandalkan keterampilan seni yang dimiliki, dan untuk sekarang sebagian besar karya yang dibuat adalah seni instalasi dan ukiran. Bambu adalah kunci penting dalam karirnya yang beragam dan produktif.
Ketika berbicara tentang seni kerajinan, Feng Cheng-tsung menekankan, seni kerajinan berbeda dari apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Dengan memahami pembuatan setiap produk, maka kita akan mendapati proses pembuatan seni kerajinan sangat sederhana. Seorang pengrajin yang terampil akan sedapat mungkin tidak menggunakan peralatan, sebaliknya menggunakan bahan yang paling sederhana dan mengadopsi metode yang paling hemat tenaga dalam pembuatannya. “Ini adalah hasil pewarisan pengrajin dari generasi ke generasi yang berlanjut sampai kesempurnaan, dan merupakan kristalisasi kecerdasan manusia selama ratusan, atau ribuan tahun,” kata Feng Cheng-tsung.
Karier Feng Cheng-tsung menjembatani keterampilan seni, kerajinan tangan dan desain industri. Dalam foto adalah cermin “Circle”, yang menggunakan kerajinan bambu untuk membuat kursi bambu dan klakat.
Terinspirasi dari Kerajinan Tradisional
Sedangkan untuk bahan bambu, ada pepatah tentang umur bambu yang mengatakan, jika umur bambu kurang dari 3 tahun maka harus dipertahankan karena kadar airnya masih tinggi, bambu sudah matang dan bisa dimanfaatkan pada umur 4 tahun, sedangkan umur 7 tahun sudah terlalu tua dan perlu ditebas agar hutan bambu dapat berkembang dengan baik, bambu akan matang pada umur 4 tahun dan menjadi bahan yang berguna. Jika dibandingkan dengan bahan logam dan keramik, modal biaya yang dibutuhkan untuk bambu lebih rendah dan lebih mudah diperoleh, peralatan pembuatannya juga sangat sederhana. Bagi Feng Cheng-tsung, bahan bambu bagaikan secarik kertas gambar yang mudah diperoleh, pada awalnya dia berkarya tanpa ragu untuk mencoba bereksperimen. “Jika bukan karena kebebasan yang diberikan bambu, saat itu sangat sulit untuk memulai,” tutur Feng dengan emosional.
Oleh karena bermula dari bambu, karya-karya berbahan bambu yang diluncurkan dari Origin Architects and Planners yang dirintisnya tetap mendominasi sekitar 40%. Sebagai contoh karya pada masa awal “Circle” diadopsi dari gabungan dua teknik kerajinan tradisional, meliputi “tabung bambu” pada perabot rumah tangga dan “bingkai bulat” pada klakat (kukusan bambu).
Ia juga pernah belajar membuat perangkap ikan bambu yang hampir punah dari tetua suku Thao di Sun Moon Lake, kemudian teknik pembuatan ini ditransformasi menjadi seni instalasi berskala besar yang transparan dan indah. Perangkap ikan bambu ini membuat ikan sulit untuk berenang keluar, namun yang sulit dibayangkan adalah alat ini disulap menjadi benda estetika berukuran besar untuk ditampilkan di museum, teater, ruangan terbuka atau di etalase butik, dan bagaikan perangkap itu sendiri dapat menangkap perhatian khalayak umum, membuat orang-orang terdiam di tempat untuk menyaksikan dan enggan untuk menjauh.
Karya seni “Meeting Dome” dari Feng Cheng-tsung yang hadir di Fugang Railway Art Festival, menampilkan struktur bola bambu. Di dalamnya terdapat bangku panjang yang menarik orang-orang menikmati ketenangan di tempat ini. (Foto: Feng Cheng-tsung)
Karya seni “Meeting Dome” dari Feng Cheng-tsung yang hadir di Fugang Railway Art Festival, menampilkan struktur bola bambu. Di dalamnya terdapat bangku panjang yang menarik orang-orang menikmati ketenangan di tempat ini. (Foto: Feng Cheng-tsung)
Feng Cheng-tsung berkolaborasi dengan sutradara teater Chen Yu-dien, dalam plot drama “The Rite of Lobster”, melalui struktur anyaman bambu meniru makhluk laut lobster. (Foto: Qin Dabei; Sumber: Feng Cheng-tsung)
Menemukan Kosa Kata Seni Taiwan yang Otentik
Peran bambu telah menjadi semakin menonjol dalam bidang desain dalam beberapa tahun terakhir, tapi 20 tahun yang lalu, eksperimen seniman lanskap Wang Wen-chih menggunakan bambu untuk menciptakan seni instalasi berukuran besar, masih jarang ditemui.
Wang Wen-chih mengungkit alasan ia menggunakan bambu. Sebagai pelajar jurusan seni, setelah lulus dari kuliah kemudian melanjutkan studi di Prancis selama bertahun-tahun. Dalam lubuk hatinya, estetika barat senantiasa memberikannya keterasingan yang sulit diatasi. “Saya terus mencari kata-kata yang dapat mewakili seni ukiran Taiwan yang otentik,” kenang Wang Wen-chih. Hingga tahun 1993, sekembalinya dari Eropa ke Taiwan, ia memutuskan kembali ke kampung halamannya di Chiayi untuk mencari jawaban.
Berbeda dengan seniman yang pada umumnya lebih menekankan seni eksplorasi mendalam dan menyendiri, Wang Wen-chih lebih suka berbaring dalam karya-karya seninya, menikmati karya seninya dengan panca indera. Ia pun menyukai berinteraksi dengan orang-orang, berharap agar karya seninya seperti bangunan konstruksi dapat menjadi ruang tempat interaksi bagi manusia.
Hal yang sulit baginya adalah karya berskala besar sulit dikerjakan oleh satu orang, dan ini mengingatkan pada masa kecilnya saat tinggal di desa Meishan di atas ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut. Pada saat itu, ia sering menjadi mandor dan bekerja menebang kayu di atas gunung. Pengalaman kerja yang menguras tenaga ini memberikan inspirasi untuk menciptakan karya kreatif. Pertama-tama, ia menggunakan bahan yang mudah didapati di Taiwan, kemudian dikerjakan secara berkelompok, mengumpulkan tim kerja untuk menciptakan karya bersama.
Pada tahun 1999, Wang Wen-chih memamerkan karya seni instalasi pertamanya yang bertajuk “Memory Ties” di Pusat Kegiatan Pemuda di Caotun Nantou yang terletak di lereng Gunung Jiujiufeng. Ia mengundang penenun terampil untuk bekerja sama, mengombinasikan keterampilan anyaman keranjang gendong tradisional dari penduduk asli, dan mengokohkan fondasi pengembangan masa depan untuk karya seni lanskap bambu berskala besar.
Wang Wen-chih sangat tertarik pada aspek pengalaman ruang arsitektur.
Karya “Quandong Dream” dari Wang Wen-chih yang dihadirkan di Woodford Folk Festival di Australia, memanfaatkan bahan alami, mengintegrasikan kreativitas dengan lanskap alam, membuat pengunjung yang berjalan-jalan di dalamnya merasa santai dan menyenangkan. (Sumber: YYL Art Studio)
Integrasi Manusia, Bahan Alam Lintas Batas Negara
Kini, Wang Wen-chih menjadi seorang seniman yang populer karena karya seni anyaman raksasanya baik di dalam maupun luar negeri.
Ia berpartisipasi dalam festival seni Setouchi International Art Triennale selama bertahun-tahun dengan karya ciptaannya seperti “House of Shodoshima”, “Light of Shodoshima”, dan “Dream of Olive” di Pulau Shodo, Jepang; dan juga dalam Woodford Folk Festival dengan karya-karya seperti “Woven Sky”, “Woven Cloud”, dan “Quandong Dream”.
Ia cenderung memilih bambu moso yang berdiameter lebih tebal dan lebih keras, kemudian menggunakan bambu Makino (spesies Phyllostachys makinoi), dianyam secara tidak beraturan, atau dianyam dengan “susunan rapi” dan rapat.
Ketika Wang Wen-chih mengungkit tentang proses penciptaan dari setiap karya, sebagai contoh ketika mengikuti festival seni Setouchi International Art Triennale, secara khusus ia meminta warga setempat untuk menyediakan bambu lokal, sekaligus mengajak warga Chiayi yang telah lama bekerja sama, dan juga relawan dari negara jauh seperti Brasil dan Australia, ditambah lagi dengan penghuni pulau di Jepang, bersama-sama membentuk tim kerja untuk menciptakan karya kolektif.
Ia mengatakan melalui berkarya bersama, kita baru dapat menyelesaikan kebuntuan yang dihadapi dua desa di atas pulau tersebut. Setelah pengerjaan selesai, di bawah kubah, orang-orang menikmati bersama teh pegunungan dan nastar yang dibawanya dari Taiwan. Kehadiran karya ini membuat pengunjung bersedia untuk menginap semalam di Pulau Shodoshima, hanya sekedar untuk menikmati keindahan karya ini di bawah sinar cahaya pada malam hari.
Karya berbahan bambu alam hanya mampu bertahan paling lama 2-3 tahun. Beberapa karyanya sudah tidak eksis lagi, akan tetapi memori indah masih terukir dalam sanubari setiap orang. Lagipula, melalui materi bambu melampaui batasan budaya, hambatan bahasa internasional, orang-orang dapat bergandengan tangan di tempat ini, berjalan kembali ke jalur alam.
Wang Wen-chih telah mengikuti festival seni Setouchi International Art Triennale selama bertahun-tahun. Dalam foto adalah karya tahun 2013 “Light of Shodoshima”, yang memanfaatkan hampir 5.000 batang bambu dianyam menjadi bangunan kubah raksasa. (Sumber: YYL Art Studio)
Karya seni anyaman setelah disoroti cahaya pada malam hari sangat indah dan menarik pengunjung bermalam di pulau. Dalam foto adalah “Zero”, karya Wang Wen-chih tahun 2022 yang ditampilkan dalam festival seni Setouchi International Art Triennale. (Sumber: YYL Art Studio)