Pertemuan Setelah Seabad
Dialog Anak Kampung Halaman dan Koleksi Museum
Penulis‧Mei Kuo Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Farini Anwar
April 2023
國立臺灣博物館為東南亞的遊子搭起跨時空對話的橋梁,策展一檔家鄉孩子參與追尋藏品歷史與文化的特展,由他們為家鄉的百年文物說故事,這也是博物館實踐文化平權、尊重多元社群的最佳展現。
Museum Sejarah Nasional Taiwan membangun jembatan komunikasi lintas ruang dan waktu bagi pengembara Asia Tengara. Dengan mengadakan pameran khusus mereka berkolaborasi dalam pencarian sejarah dan budaya melalui koleksi museum, agar mereka dapat menceritakan kisah peninggalan budaya berusia seabad dari kampung halaman masing-masing. Hal ini juga merupakan demonstrasi terbaik mengenai komitmen museum di bidang kesetaraan budaya dan penghormatan terhadap keragaman masyarakat.
Museum Nasional Taiwan (disingkat “Museum Taiwan”) dibangun pada tahun 1908, dan merupakan museum dengan sejarah terpanjang di Taiwan yanng memiliki lebih dari 120 ribu koleksi, sebagian besar terakumulasi pada masa kolonial Jepang di abad ke-20, kebanyakan berasal dari sumbangan atau hadiah kaum industriawan, pejabat, akademisi atau pertukaran dari kelembagaan. Setelah Jepang meninggalkan Taiwan dan pemerintahan Republik Tiongkok (ROC) kembali berkuasa, penyerahterimaan sebagian dari koleksi Asia Tenggara hanya berupa katalog dan nama koleksi saja, tidak mencantumkan keterangan terkait asal usul, tahun diperolehnya koleksi, penulis dan informasi lain dari koleksi tersebut.
Emily Yuan Hsu-wen, kurator “Dialog Seabad: Pertemuan Migran Transnasional Dengan Koleksi Museum” mengemukakan, ia kerap kali berharap dapat memiliki kesempatan untuk memperkenalkan benda-benda bersejarah ini pada masyarakat ketika ia ke ruang penyimpanan museum. Para penduduk imigran dan pekerja migran Asia Tenggara datang ke Taiwan sejak era tahun 1990an, bahkan beberapa tahun terakhir ini jumlahnya telah menembus angka satu juta jiwa, sehingga koleksi Asia Tenggara yang telah menanti selama seabad ini memiliki peluang untuk dipamerkan.
Dialog Koleksi Seabad Asia Tenggara dan Orang Kampung Halaman
Museum Taiwan mempromosikan proyek “Duta Layanan Pemandu Imigran Baru” pada tahun 2015, merekrut imigran baru Asia Tenggara untuk menjadi pemandu museum, memberikan pelayanan dalam berbagai bahasa, selain itu Museum Taiwan juga merencanakan berbagai kegiatan kultural seperti kegiatan pemahaman budaya negara asal imigran Asia Tenggara, kelas edukasi dan lainnya sehingga para pekerja migran dapat sepenuhnya menampilkan kekhasan budaya mereka, serta mengimplementasikan hak kesetaraan dan aksesibilitas budaya di museum.
Emily Yuan Hsu-wen selaku orang yang menangani proyek tersebut mengemukakan, sejak tahun 2016 grup pertunjukan “Singo Barong Taiwan” yang dibentuk oleh para pekerja migran Indonesia, sudah beberapa kali menampilkan pertunjukan tarian tradisional Indonesia “Reog Ponorogo” dalam kegiatan seni budaya Dirgahayu Republik Indonesia yang diselenggarakan bersama di museum. Emily Yuan Hsu-wen menemukan kostum para penari serupa dengan beberapa koleksi yang ada di museum, dan ketika ia mengeluarkan foto koleksi tersebut, tidak disangka para pekerja migran merespons, “Ini merupakan barang-barang dari kampung halaman kami, budaya kami.” Pemerintah Indonesia telah mengajukan Reog Ponorogo sebagai warisan budaya tak benda kepada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Objek ini membangun jembatan komunikasi antara museum dan pekerja migran Asia Tenggara, tidak saja memfasilitasi dialog antara koleksi Asia Tenggara yang berusia seabad dengan orang di kampung halaman mereka, bersamaan dengan waktu itu juga mengungkapkan “misteri” dari Keris, Wayang Klitik dan koleksi lainnya yang tersimpan di gudang museum.
Penduduk Imigran Baru dari Indonesia Ninik Wahyuni (kanan) meminjamkan kostum Reog Ponorogo anak-anak untuk dipamerkan di Museum Taiwan. (Foto: Jimmy Lin)
Bantuan Tak Terduga Pekerja Migran
Emily Yuan Hsu-wen mengemukakan asal muasal hubungan koleksi dengan komunitas pekerja migran, sambil tersenyum mengatakan, “Kami mencari ke sana kemari dan menemukan bantuan di tempat yang tidak disangka-sangka!”
Pihak museum dan tim kuratorial memilah koleksi dari Asia Tenggara, di pihak lain, dalam proses identifikasi, para pekerja migran juga berinteraksi dan berkomunikasi dengan pekerja budaya dan sejarawan Museum Taiwan.
Kemudian, pihak museum mengeluarkan “Permohonan pengumpulan” kepada penduduk imigran baru: Meminjam karya atau koleksi untuk dipamerkan, dan barang-barang terpilih seperti keris, wayang klitik, batik, peralatan makan, alat musik gamelan, serta pakaian nasional Filipina, peralatan makan Thailand, kitab kuno Vietnam dan lainnya lebih dari 70 benda-benda koleksi dari Asia Tenggara, merupakan pencapaian dialog subjek budaya kuno dan modern dari Museum Taiwan.
Keris di Tanah Rantau Membangkitkan Nostalgia
Keris yang menyentuh hati pengunjung Museum Taiwan adalah senjata tradisional yang digunakan oleh masyarakat Melayu Kuno di Sumatera hingga ke bagian selatan Filipina. Dalam budaya tradisional Indonesia, keris adalah senjata untuk melawan musuh, dan sekarang juga menjadi barang simbolik dalam upacara, benda untuk ritual atau pusaka keluarga.
Penduduk Imigran Baru Indonesia Sri Handini (Anny Ting) melalui video dokumenter pameran khusus ini mengatakan, “Belati Indonesia yang tersimpan dan begitu terawat seperti ini mengingatkan saya pada tradisi memiliki keris di kalangan sesepuh di tanah air.”
Kolektor di Indonesia, Herry Sapton dalam video call mengungkapkan, “Dahulu, saat orang masih membawa keris, tangan yang menggenggam keris akan memberikan rasa percaya diri, membangkitkan tekad, tetapi sekarang ini, keris lebih menjadi pusaka keluarga”
Keterharuan Pekerja Migran Bertemu Wayang Klitik Berusia Seabad
Ketika Museum Taiwan membandingkan keris dengan koleksi wayang yang mereka punya juga dilengkapi dengan belati, setelah ditelusuri ternyata wayang Indonesia ini adalah Wayang Klitik yang berasal dari Kota Kediri, Indonesia.
“Ini adalah pertunjukan kesenian tradisional kampung halaman saya! Sejak kecil hingga dewasa saya menonton pertunjukan ini. Saya sangat terharu, juga sangat berterima kasih kepada Taiwan yang telah turut melestarikan budaya Indonesia.” Ujar Budi, seorang pekerja migran yang berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Budi juga menghubungi tetangganya Kondo Brodiyanto yang adalah seorang dalang wayang untuk memberikan penjelasan mengenai peristiwa, waktu dan budaya tabu dari pertunjukan wayang kepada staf Museum Taiwan.
Kondo yang mengetahui Wayang Klitik Indonesia berusia seratus tahun tersimpan di Museum Taiwan, untuk itu ia menghubungi kepala desa dan tim pertunjukan wayang setempat bersama-sama menyaksikan pertunjukan wayang klasik berusia seabad ini secara online di depan kantor polisi setempat.
Wayang Klitik Jawa “Hanuman”
Keterkaitan Reog Ponorogo → Belati → Wayang Potehi
Museum Taiwan juga menemukan kemiripan dari salah satu mahkota kepala wayang dengan hiasan kepala yang dikenakan oleh penari dalam drama tari, melalui bantuan dari dalang wayang, dipastikan bahwa peran dari penari drama tersebut adalah Raja Adhipati Klonosewandono. Keterkaitan dari penari, koleksi dan kisah legendaris membuat hati staf museum sangat terharu.
Museum Taiwan menyampaikan, Reog Ponorogo Jawa dan Barong Bali merupakan tokoh dewa penting dalam budaya keagamaan di Indonesia, untuk itu pihak museum meminjam pakaian penari Reog Ponorogo anak-anak yang biasa digunakan untuk mengajar dari seorang penduduk imigran baru Indonesia, Ninik Wahyuni untuk dipamerkan dalam pameran khusus museum, serta menghadirkan “Barong” (sekarang menjadi koleksi museum) yang dihadiahkan kepada Museum Nasional Taiwan oleh Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia untuk Taipei (KDEI) pada tahun 2019. Berat Singo Barong Ponorogo yang sebenarnya mencapai 60 – 70 kg, merupakan salah satu topeng terbesar di dunia yang mana pemain hanya mengandalkan gigi untuk menopangnya.
Ninik Wahyuni mengatakan, pertunjukan Reog Ponorogo tidak terasa sebagai pertunjukan yang langka di kampung halaman sendiri, setelah datang ke Taiwan dan tidak dapat menyaksikannya lagi baru terasa sangat berharga. Ia mengemukakan, baju tari yang dibawa dari tanah air dipamerkan di museum agar banyak orang yang dapat melihat dan memahami, sehingga memiliki makna yang sangat berbeda.
Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia untuk Taipei (KDEI) pada tahun 2019, menghadiahkan “Barong” kepada Museum Sejarah Nasional Taiwan untuk dimasukan dalam koleksi museum.
Pengembara Filipina Temukan Pakaian Nasional di Negari Rantau
Juga dipamerkan pakaian nasional Filipina “Barong Tagalog” yang berusia seratus tahun, terbuat dari serat nanas, pada pakaian tersebut juga terdapat bordiran, pakaian Barong Tagalog untuk pria berupa kemeja tanpa kantong, sedangkan pakaian perempuan berupa gaun lengan pendek dengan pola leher bulat atau persegi, bentuk kedua lengan pakaian perempuan mengembung tinggi sehingga menyerupai sayap kupu-kupu yang melebar, untuk itu pakaian ini juga mendapat sebutan “Pakaian Kupu-Kupu”.
Gaya busana ini ditetapkan sebagai pakaian nasional Filipina bermula dari Mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang mengenakannya pada tahun 1975. Mario Subeldia seorang pelukis yang juga adalah seorang desainer pakaian berkewarganegaraan Filipina yang ada di Taiwan juga merancang 3 stel pakaian nasional Filipina modern sebagai pelengkap pameran.
Mario Subeldia mengatakan bahwa ia sangat terkejut ketika melihat pakaian nasional negaranya masih terawat baik di museum, bagaikan kembali ke era pada masa lalu. Harga serat nanas sangat mahal dan sulit didapatkan untuk sekarang ini, oleh sebab itu pakaian yang dirancangnya menggunakan serat sintetis sebagai pengganti, dan tetap mempertahankan unsur bordir pada pakaian nasional negaranya ini. Ia mengatakan, saat pengunjung mengagumi keindahan pakaian nasional Filipina, mengapresiasi karyanya, dan ia sendiri juga merasa sangat bangga bahwa dirinya adalah orang Filipina.
Mario Subeldia seorang pelukis sekaligus desainer pakaian dari Filipina merancang gaun dengan elemen pakaian nasional Filipina untuk melengkapi koleksi dalam pameran seabad Asia Tenggara.
Koleksi Kampung Halaman Pekerja Migran Bersinar
Emily Yuan Hsu-wen mengatakan, penelitian budaya peninggalan Asia Tenggara menjadi salah satu bidang penelitian museum yang paling signifikan di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemeran khusus ini “Menunjukkan demonstrasi proses penelusuran asal usul koleksi museum dengan pekerja migran Asia Tenggara.”
Asisten profesor dari program magister Jurusan Museologi Universitas Katolik Fu Jen, Lin Wen-ling mengatakan bahwa Konferensi Dewan Museum Internasional (International Council of Museums/ICOM) 2022 yang berlangsung di Praha menetapkan definisi baru “Aksesibilitas, toleransi, keragaman, dan partisipasi masyarakat” bagi museum. Lin Wen-ling merasa keterlibatan dan antusias dari komunitas pekerja migran dalam pameran telah menyuntikan beragam emosi dan makna baru ke dalam objek yang dipamerkan, ini merupakan pemahaman dan kepercayaan yang dibina antara museum dan pekerja migran selama jangka panjang. Museum Nasional Taiwan dapat mengundang komunitas Asia Tenggara untuk turut andil, menceritakan kisah benda-benda ini dari perspektif budaya negara asal mereka, dan penghormatan terhadap komunitas seperti ini patut mendapat pengakuan.