Home

Komunitas

Taiwan – Vietnam

Taiwan – Vietnam

Saling Membangun Waktu Menyenangkan

Penulis‧Lynn Su Foto‧Lin Min-hsuan Penerjemah‧Farini Anwar

April 2025

Pemerintah Taiwan mencanangkan kebijakan “Mengarah ke Selatan” dan “Mengarah ke Selatan Baru” sejak era tahun 1990 an, sepuluh negara ASEAN telah menjadi dunia baru bagi masyarakat Taiwan untuk mewujudkan impian kewirausahaan mereka. Bersamaan dengan itu, Taiwan membuka kesempatan bagi pekerja migran Asia Tenggara untuk datang bekerja di Taiwan dan semakin banyak pengantin asing. Dari peningkatan pesat penduduk imigran baru, Vietnam merupakan yang paling signifikan.

Arah Selatan Anda

Berusia awal 30-an tahun, tidak dapat membanggakan latar belakang pendidikan atau hubungan sosial yang cemerlang, tetapi berstatus sebagai manajer dari sebuah perusahaan besar Fiber, selain mengelola puluhan orang karyawan, juga menjadi satu-satunya orang Taiwan yang menjadi kader di antara hampir seribu karyawan ── Chloe Hsu, demikian keistimewaan dari seorang perempuan Taiwan ini, bagaimana dia menciptakan karier ini bagi dirinya?

 

Koleksi artefak Vietnam dari Eddy Hsu meliputi ukiran kayu perahu Bajiang dan tokoh legendaris Vietnam “Lạc Long Quân” (kiri), Jijiuchang (kanan atas) dan topi tentara Dinasti Nguyen (kanan bawah).

Ciptakan Lautan Biru Kehidupan

Pada sebuah rumah di Taoyuan, sebuah ruang berdekorasi sederhana, dihiasi dengan barang dan dokumen bersejarah Vietnam, Chloe Hsu bersama ayahnya, Eddy Hsu berada di depan meja besar. Alasan mengapa putrinya bisa bekerja di Vietnam, tidak lain bermula dari Eddy Hsu.

Selaku perwakilan dari era “Mengarah ke Selatan Lama”, Eddy Hsu sempat mengelola bisnis di Vietnam pada tahun 1992 dan tinggal di sana selama sepuluh tahun, kemudian karena keinginannya untuk menemani anak-anaknya tumbuh dewasa, Eddy Hsu dengan tegas melepaskan bisnis yang telah berhasil dikelolanya dan pulang ke Taiwan. Dengan pandangan yang unik, Eddy Hsu beranggapan, “Jika sudah ada orang yang mengerjakannya, maka tidak perlu lagi ia mengerjakannya.” Karena itulah ia mendorong anaknya untuk berjalan di jalan yang tidak umum. Oleh karena itu ketika putrinya Chloe Hsu melanjutkan pendidikan di Universitas Yuan Ze, Ia menyarankan putrinya untuk belajar Bahasa Vietnam yang pada waktu itu tidak populer dan jarang dipilih orang sebagai bahasa asing kedua, ia juga mengatur putrinya ke Vietnam untuk tinggal bersama temannya di Vietnam setiap kali liburan musim panas.

Kebijakan pendidikan seperti ini tentu saja memengaruhi generasi berikutnya. Setelah lulus, Chloe Hsu yang menargetkan karir di pasar Asia Tenggara dan pilihan pertamanya adalah Vietnam.

Bekerja bersama dengan orang Vietnam dalam jangka waktu panjang, setelah sekian lama, Chloe Hsu juga merangkum sebuah metode manajemen mental, “Harga diri orang Vietnam tinggi, saat membicarakan ‘hakikat’ juga harus menjaga ‘muka’ mereka.” Sebagai seorang pengawas, apabila tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka sulit untuk mengatasi dan menyakinkan bawahan secara terbuka, lebih sulit lagi untuk mengatur mereka, “Namun sebaliknya, orang Vietnam bersedia menghormati dan menjunjung orang yang memiliki kemampuan lebih dari mereka.”  

 

Dari Pebisnis Taiwan Menjadi Kolektor

Karena memahami karakter orang Vietnam, barulah ia dapat mengelola mereka dengan baik, tetapi dapat memahami budaya Vietnam melalui sejarah lokal seperti Eddy Hsu pasti sangat jarang. Kami mengikuti Eddy Hsu melangkah naik ke lantai atas. Seperti berjalan di sebuah pameran, menelusuri koridor yang sarat dengan kaligrafi dan lukisan, pada ruangan kecil di lantai paling atas tergantung pada dinding tulisan “Arsip Eddy Hsu”.

Status lainnya dari Eddy Hsu adalah kolektor tulisan kuno Vietnam, selaku kolektor selama hampir 30 tahun, ia memiliki lebih dari 3.000 koleksi yang beragam seperti maklumat dinasti, prasasti, dokumen, buku kuno, topi dan lainnya, melebihi koleksi yang dimiliki oleh institusi akademis internasional.

Bagaimana kisah dari seorang pebisnis hingga menjadi kolektor dengan misi hidup mengumpulkan benda-benda peninggalan budaya Vietnam, bermula dari ketika ia ke Vietnam untuk berbisnis. Setelah revolusi dan Vietnam membuka diri pada tahun 1985, Eddy Hsu yang pada tahun itu mengalami kegagalan dalam bisnisnya di Taiwan, dengan membawa uang sebesar US$2.000 bertolak ke Vietnam untuk mencari peluang mengubah hidupnya.

Seiring dengan bisnis yang semakin stabil, Eddy Hsu yang merantau jauh dari kampung halaman, membuatnya berkeinginan untuk membaca sedikit karakter tulisan Mandarin, “Pada tahun 1995, saya membeli ‘Michuan Wanfa Guizong’ (buku ajaran Taoisme kuno) dengan harga VN$20.000 (sekitar NT$50) di toko buku kuno di jalan Nguyen Thi Minh Khai, Saigon (sebutan lama dari Kota Ho Chi Minh) pada tahun 1995.”

Penggunaan tulisan karakter Mandarin digunakan oleh pemerintahan kuno Vietnam, hingga masa kolonial Prancis mereka baru beralih pada penggunaan tulisan Romawi, kebetulan seperti ini memberikan kemampuan bagi orang Taiwan untuk dapat membaca buku dan dokumen kuno Vietnam.

Melihat ketertarikannya akan sastra dan sejarah. Nguyễn Phú Huy Quang yang pada waktu itu adalah pemilik rumah yang disewakan ke Eddy Hsu, meminjamkan dua buku kuno padanya, yaitu buku sastra klasik Vietnam “The Tale of Kiew” dan buku sejarah Vietnam “An Outline History of Vietnam” yang merupakan harta karun nasional Vietnam. Membuka-buka buku sejarah “An Outline History of Vietnam” Nguyễn Phú Huy Quang membicarakan latar belakang keluarganya ── ternyata sosok pria yang bermain biliar carom (biliar ala Prancis) dan duduk di halaman rumah sambil menikmati jeroan sapi bersama Eddy Hsu setiap hari adalah seorang keturunan Dinasti Nguyen, kekaisaran terakhir Vietnam, kakek buyutnya adalah Pangeran Cường Để, seorang aktivis gerakan kemerdekaan yang sempat singgah sebentar di Taiwan. Mengetahui kebetulan seperti ini, layaknya takdir yang mempertemukan, membuatnya ia terasa terpanggil untuk masuk ke dalam pintu sejarah Vietnam.

 

Petualangan Chloe Hsu dan Eddy Hsu di bawah kebijakan mengarah ke selatan dan mengarah ke selatan baru, menggores lembaran baru kecemerlangan interaksi pertukaran Taiwan dan Vietnam.

Jiwa Vietnam dalam Peninggalan Budaya Kuno

Di Vietnam, Eddy Hsu memperoleh koleksinya dari kios buku bekas, pasar loak hingga rumah-rumah pedesaan, ia sempat menyelamatkan sebuah papan kayu ukir untuk mencetak uang pada masa lalu, papan kayu ini digunakan sebagai talenan oleh istri seorang petani di sebuah desa dekat Danang. Pada bagian atas peninggalan budaya kuno yang diperkirakan berusia lebih dari 400 tahun ini berukirkan Lạc Long Quân (secara harfiah disebut “Tuan Naga dari Lạc”, juga disebut Hùng Hiền Vương) yang dikenal sebagai Hùng Vương II, merupakan Raja Hùng kedua dari Dinasti Hồng Bàng, Vietnam kuno.

Setiap materi dan peninggalan budaya mencatat dan menyimpan rapat perubahan dalam sejarah Vietnam yang meninggalkan penyesalan yang tidak dapat terhapuskan dalam sejarah.

Pada akhirnya, Eddy Hsu tidak rela menjual satupun dari koleksi peninggalan budayanya, layaknya sebuah titipan yang ditakdirkan era zaman, “Ada jiwa Vietnam dalam barang-barang ini semua.”

 

Perantauan ke Utara

Liao Yun-chang, pekerja media yang selalu peduli dengan isu-isu Asia Tenggara, sering terlihat mengenakan Ao Dai (pakaian nasional Vietnam) biru di pameran gambar pekerja migran atau Penghargaan Sastra Pekerja Migran dan lainnya. Motif gambar tenaga medis pada baju seragam nyanyi ini adalah pemberian dan hasil karya lukisan tangan dari Trần Thị Đào, pelukis asal Vietnam.

 Ketika orang Taiwan pergi mengarah ke selatan untuk mencari dunia baru untuk wirausaha, juga ada sekelompok orang dari Vietnam melakukan perjalanan mengarah ke utara dan datang ke Taiwan, salah satunya adalah Trần Thị Đào dari provinsi Đắk Lắk Vietnam. Merantau selama 12 tahun di Taiwan telah mengubah hidupnya. 

 

Dari Perawat hingga Pelukis

Sebelum ke Taiwan, karena Đắk Lắk kampung halamannya adalah penghasil kopi yang kaya sehingga Trần Thị Đào sempat membuka usaha kopi yang bisnisnya cukup berhasil, tetapi kemudian menghadapi kebangkrutan bahkan memiliki banyak hutang. Ketika sudah tidak ada jalan lagi, secara tidak sengaja ia melihat kesempatan kerja di Taiwan dalam acara di televisi.

Demi melunasi hutang, maka ia berangkat ke Taiwan pada tahun 2002. Dirinya yang memang memiliki keahlian dalam bidang perawatan medis sehingga iapun menjadi seorang perawat rumah tangga. Pekerjaan sebagai perawat rumah tangga tidak membedakan siang dan malam, selalu berjaga di samping lansia yang dirawat, ditambah lagi kebanyakan lansia yang dirawat berbicara bahasa Taiyu (Hokkien), kesulitan untuk berkomunikasi semakin membuatnya rindu akan kampung halaman.

Pada saat inilah, ia mendapatkan majalah “Empat Arah” versi Bahasa Vietnam. Tulisan, informasi dan gambar selain dapat melepaskan kerinduanya, A Đào yang sejak kecil gemar melukis, hatinya tergerak untuk mengirimkan hasil lukisannya ke “Empat Arah”, dan ternyata karyanya berhasil terpilih dan diterbitkan, sehingga memberikan dorongan kuat baginya.

 

Trần Thị Đào yang terus gigih dalam berkarya, menggunakan berbagai materi media untuk lukisannya, mulai dari cat minyak berkilau hingga sutra tradisional Vietnam yang menantang dan sulit.

Jaringan Hangat bagi Orang-Orang Sekampung Halaman

Terus berkarya tanpa henti, menjadikan Trần Thị Đào sering menjadi juara dalam berbagai perlombaan melukis. Seiring dengan semakin banyaknya lukisan yang dipamerkan dan memenangkan perlombaan, sehingga nama “Pelukis Pekerja Migran” juga semakin dikenal, bahkan mantan Presiden Tsai Ing-wen yang pada masa itu sedang dalam kampanye pemilu pencalonan diri sebagai presiden, beliau berharap dapat bertemu dengan Trần Thị Đào.

 “Pada waktu itu, saya baru saja memutuskan untuk mengirimkan anak saya melanjutkan pendidikan di Taiwan.” Kebaikan orang Taiwan membuat Trần Thị Đào sangat berterima kasih. Meskipun Undang-Undang Layanan Ketenagakerjaan Taiwan mengharuskannya untuk meninggalkan Taiwan setelah bekerja selama 12 tahun, tetapi ia menyekolahkan tiga anaknya di Taiwan, sehingga “perjodohan dengan Taiwan terus belanjut”. Sekembalinya ke Vietnam, ia masih terus berkarya, ia menjadi anggota Asosiasi Seni Vietnam dan juga memperoleh kualifikasi sebagai seniman yang diberikan oleh pemerintah Vietnam.

Setelah putri sulung A Đào lulus dari Universitas Tunghai, ia mendirikan perusahaan konsultan studi dan wisata keluar negeri di Kota Ho Chi Min. Ruang tempat di mana kami mewawancarai A Đào adalah ruang kantor perusahaan putrinya, pada dinding belakang ruang pertemuan dipenuhi dengan lukisan-lukisan besar, ada lukisan pemandangan Taiwan sebagai ungkapan kerinduan A Đào akan Taiwan dan lukisan-lukisan materi medis yang menggemakan pekerjaannya di Taiwan.

 

Bukan Generasi Kedua Tipikal

Lee Ju-pao yang saat ini duduk di bangku kuliah Strata 2 Jurusan Pembangunan Nasional, Universitas Nasional Taiwan, dengan bahasa ibu adalah Mandarin tetapi bersamaan dengan itu juga lancar berbahasa Vietnam. Lee Ju-pao adalah keturunan dari pasangan ibu orang Vietnam dan ayah orang Taiwan, karena ayah dan ibu berbisnis di Vietnam sehingga ia lahir dan dibesarkan di Vietnam, sehari-harinya bersekolah di Sekolah Internasional Taipei di distrik Phú Mỹ Hưng, Kota Ho Chi Min, teman-teman sekolahnya kebanyakan berasal dari Taiwan.

“Saya adalah anak dari keluarga lintas budaya.” Hal ini sebenarnya membuat ia merasa binggung, tetapi timbulnya insiden anti-Tiongkok di Vietnam pada tahun 2014, berdampak bagi orang Taiwan di Vietnam. Lee Ju-pao masih berstatus pelajar pada waktu itu, sengaja berbicara dalam bahasa Vietnam untuk menutupi identitasnya, “Pada waktu itu saya baru menyadari bahwa dapat mengungkapkan siapa diri kita sendiri adalah suatu hal yang sangat penting.”

 

Diam-diam Memicu Revolusi Sosial

Sering bepergian antara dua negara, Lee Ju-pao mendapati bahwa Taiwan dan Vietnam memiliki banyak kesamaan, untuk itu sejak masih di bangku kuliah, ia telah mendirikan “Foodeast”, sebuah perusahaan perencanaan kegiatan yang berfokus pada interaksi pertukaran Taiwan dan Vietnam.

Selain keunggulannya dalam bahasa, Lee Ju-pao menyampaikan bahwa keunikan yang paling besar dari mereka, generasi kedua dari keluarga lintas budaya adalah empati. Agar dapat terjun dalam pelatihan bagi generasi kedua penduduk imigran baru, maka ia mendirikan “Asosiasi Pengembangan Pemuda Imigran Baru dan ASEAN” (The New Immigrant Youth and ASEAN Development Association) pada tahun 2023.

Lee Ju-pao menyampaikan, isu generasi kedua penduduk imigran baru kerapkali berkaitan dengan isu penduduk imigran baru, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia, mereka seharusnya memiliki kekuatan dan kemampuan yang memadai untuk mengutarakan aspirasi. 

 Ketika interaksi pertukaran antara Taiwan dan Asia Tenggara semakin akrab, generasi kedua penduduk imigran baru paling memahami apa yang menjadi keindahan Taiwan, juga paling dapat mewakili Taiwan untuk mengulurkan tangan menjalin persahabatan dengan orang asing. Lee Ju–pao menggunakan identitas dirinya sebagai “Orang yang membangun jembatan di antara kedua negara”, ia berharap keberadaan generasi kedua penduduk imigran baru dapat membuat Taiwan semakin kaya, semakin inklusif, semakin empati dan apa yang mereka lakukan adalah menyalakan api revolusi dengan tenang di masyarakat.

Lee Ju-pao dan generasi kedua penduduk imigran baru lainnya bersama-sama menggelar kamp pertukaran budaya di kampus. (Foto: Foodeast)

Lee Ju-pao dan generasi kedua penduduk imigran baru lainnya bersama-sama menggelar kamp pertukaran budaya di kampus. (Foto: Foodeast)

Artikel Populer