Kudapan Asia Tenggara
Semanis Pelepas Rindu
Penulis‧Lynn Su Foto‧Lin Min-hsuan Penerjemah‧Maria Sukamto
Agustus 2024
Manusia menyukai rasa manis adalah suatu kodrat; daya tarik kudapan bisa membuat kita terbenam dalam nuansa kenangan indah. Beberapa tahun belakangan ini, gerai kudapan Asia Tenggara sesekali muncul di mal-mal maupun bazar, bagi masyarakat Taiwan, ini adalah suatu tambahan baru dalam dunia kuliner, sedangkan bagi kebanyakan dari imigran baru generasi lebih awal, penganan ini menjadi pelipur rasa rindu akan kampung halaman.
Salah satu di antaranya adalah “Malai Mei”, merek dagang yang berarti gadis melayu ini menjual Kue Nyonya. Koh Her-xin pengelola asal Malaysia merintis bisnis berjualan kudapan kampung halamannya di kampus tempat ia kuliah di Taiwan. Setelah lulus sekolah, ia menapakkan kaki menetap di Taiwan, berkeluarga dan dikaruniai seorang anak. Ia pun membuat merek dagang kuliner berbekal pengalaman berjualan di masa kuliah, berkat dari masa lock down pandemi Covid-19, usaha menjual kudapan pelipur rindu kampung halaman yang bercita rasa autentik kepada para warga Malaysia di Taiwan yang tidak bisa pulang menjadi populer.
Kudapan Tropis Berpangkal di Taiwan
Kue Nyonya adalah sebutan umum untuk kue lapis, tetapi pada kenyataannya memiliki seratusan ragam jenis. Produk makanan “Malai Mei” terdiri dari kue sembilan lapis, kue talam, kue talam pandan ketan, kue talam ubi kayu, kue ku dan masih ada puluhan macam lagi. Setiap jenis kue terbuat dari racikan resep berbahan tepung beras, tepung tapioka maupun tepung terigu dengan takaran tepat guna menonjolkan cita rasa lembut dan kenyal yang berbeda. Dari penampakan luar, warna dari pewarna alami seperti hijau dari daun pandan, biru dari bunga telang, kuning dari kaca piring kuning, dan waluh untuk warna oranye serta warna ungu dari ubi ungu dan warna berbeda lainnya. Selain cita rasa manis, juga dipadukan dengan penyedap gurih rasa pandan dan santan.
Ibu Koh Her-xin yang tinggal di kota Melaka - Malaysia, dulu memang berjualan Kue Nyonya di jalan tua. Menurut Koh Her-xin, proses pembuatan kue lapis nyonya melelahkan, karena banyak jenis kue talam ini dibuat dari tumpukan berlapis-lapis, dan dikukus selapis demi selapis, setiap lapis dikukus selama 7 menit, dan maksimal dikukus sebanyak sembilan kali, ditambah lagi dengan pembuatan aneka jenis kue yang berbeda secara bersamaan. “Sungguh repot sekali pembuatannya,” tuturnya. Sikap sabar tak kenal lelah ini disebabkan oleh suatu tekad untuk membuat kudapan kampung halaman yang tak bisa ditemukan di tanah rantau.
Begitu pula dengan lahirnya “Pondok Sunny restaurant”yang sangat disukai warga Taiwan.
Memasuki Pondok Sunny restaurant yang terletak di kota Hsinchu, kita harus melewati sebuah lorong yang ditumbuhi aneka tumbuh-tumbuhan lebat, demikian pula teras restoran di lantai dua juga penuh dengan tanaman pandan yang lebat dan subur, terbentang sebidang pemandangan hijau bagai menyambut kita ke dunia tropis.
Restoran ini sebelumnya adalah toko kelontong barang Asia Tenggara. WNI keturunan Tionghoa Sally Michelle Yao yang menikah di Taiwan, memulai bisnis kecil-kecilan di dusun Hakka 30 tahun silam, tidak hanya menjual barang kelontong dan bahan dari Asia Tenggara, ia juga menjual kudapan buatan tangannya.
Rasa rindu makanan kampung halaman adalah pemicu terbesar baginya. Sally banyak bereksperimen agar bisa membuat kue dengan rasa asli. Setiap balik dari mudik, ia akan memboyong seratus kiloan bahan baku ke Taiwan, setelah melakukan banyak percobaan dan penyesuaian resep selama beberapa tahun, bahkan menimba ilmu dari orang lain, akhirnya ia menemukan resep yang paling ideal.
Sampai suatu saat, ketika ibunya memutuskan untuk menutup toko tersebut, ia tersadar, “Kalau begitu, saya tidak bisa makan kudapan itu lagi?” Jocelin Lee, putri Koh yang makan kudapan buatan ibunya sejak kecil, merasa tidak rela, maka ia pun menyulap toko kelontong tradisional menjadi merek dagang Taiwan sebagai paduan dari cerita keluarga imigran dengan budaya kuliner Taiwan.
Koh Her-xin yang mewarisi keterampilan ibunya, mengelola bisnis berbekal cita rasa kuliner kampung halaman.
Kue Talam 9 Lapis dan Kue Nyonya dari Akar yang Sama
Kue Nyonya yaitu kue lapis sering membingungkan warga Taiwan. “Ini kue nyonya? Jelas-jelas adalah kue talam 9 lapis!” Jocelin Lee berbagi cerita lucu saat berjualan, pernah ada pelanggan yang dengan yakinnya berargumen demikian di depan kios.
Jika hendak menelusuri sejarah kue lapis, maka kesalahpahaman seperti ini akan terjawab. Kue lapis atau nyonya kuih dalam bahasa Melayu, pelafalan kue atau kuih sama dengan 「粿」dalam dialek Minan, dan ini menunjukkan asal usul identitas berasal dari kuliner Tionghoa.
Konon pada abad 15, para pria di pesisir laut Tiongkok banyak yang mengadu nasib ke Asia Tenggara, mengingat mereka sendirian di negeri orang, maka memilih untuk menikah dengan perempuan setempat, anak keturunan dari perkawinan campur ini disebut “keturunan Tionghoa”, atau juga disebut “Baba Nyonya”.
Kue Nyonya adalah kuliner inovasi yang lahir dari perpaduan dua budaya. Kuliner Nyonya yang berciri khas warna kontras dengan irisan halus mendominasi dunia gastronomi Asia Tenggara, terutama Kue Nyonya, yang disukai semua etnis, setelah melalui perkembangan dan penyebaran selama beberapa generasi, Kue Nyonya bertumbuh menjadi ratusan jenis, dan sekarang telah menjadi kudapan khas Asia Tenggara.
Dengan demikian, Kue Nyonya dan kue 9 lapis Hakka memiliki dasar budaya kuliner Tiongkok yang sama, berasal dari akar yang sama.
Di Asia Tenggara juga ada kue ku, bentuknya yang khas, melihatnya membuat hati bersuka cita.
Rempah Udang, kudapan nasi ketan berisi ebi yang berwarna biru bunga telang dan cabai dibungkus dalam daun pandan.
Kue Nyonya dagangan Sally Michelle Yao memiliki cita rasa tradisional dan kreasi baru yang memadukan bahan lokal Taiwan.
Jocelin Lee (kiri) dan Sally Michelle Yao (kanan) menulis cerita keluarga imigran baru melalui kuliner.
Jarak Antara “Taiwan” dan “Asia Tenggara” Tidak Jauh
Jejak kuliner menyadarkan kita bahwa jarak antara Taiwan dan Asia Tenggara jauh lebih dekat dari perkiraan. Tionghoa Indonesia Liu Ming-fang yang bersama keluarga berimigrasi ke Taiwan di usia 15 tahun, kehidupannya mengalami perpindahan dari sebuah “pulau” ke “pulau” yang lain, ia sempat bermukim di Jawa, Sumatra hingga kota Jakarta, lalu pindah lagi ke Kota New Taipei, bahkan pulau Penghu.
Seberapa dekatkah jarak Indonesia dan Taiwan? Kami berjanjian dengan Liu Ming-fang bertemu di sebuah gerai kafe “Amo”, suguhan yang menyertai teh untuk kami ada kue bolu lapis yang lembut, itu adalah kue bolu andalan kafe Amo, dan terkenal menjadi hadiah syukuran bayi 1 bulan di Taiwan. Namun, jarang ada yang mengetahui bahwa asal usul kue bolu lapis Amo ini ternyata dari kue lapis legit Indonesia yang diciptakan pada masa kolonial Belanda di Indonesia.
Liu Ming-fang yang menjajaki sejarah kuliner menjelaskan lapis legit Indonesia adalah hasil perpaduan budaya Tionghoa, Barat dan Indonesia, di mana menggunakan teknik kue orang Tionghoa, ditambahkan dengan bahan yang disukai orang Barat yakni telur dan mentega, terakhir ada rempah-rempah produksi Indonesia seperti kayu manis, kapulaga dan cengkeh untuk penambah cita rasa. Hanya saja kue lapis legit setelah mendarat di Taiwan mengalami adaptasi dengan lidah lokal, sehingga menuruti kesukaan lidah orang Taiwan, kadar gula dan minyak berkurang drastis, dan aroma rempah-rempah juga dihilangkan, menjadi kue lapis dengan cita rasa sederhana, ringan tanpa beban kandungan minyak yang berat seperti aslinya.
Kerinduan akan kampung halaman adalah motor penggerak Liu Ming-fang untuk kembali berkreasi di dapur, ketika kami melihat isi buku resep masakan yang ditulisnya “Kuliner sehari-hari Khas Asia Tenggara, Hidangan Rumahan Siap Disantap”, kita akan terkejut mendapati bahwa yang dimaksud Liu Ming-fang dengan kudapan “Asia Tenggara” ternyata mencakup cincau, ronde, sup kacang merah, sup kacang hijau, ronde ketela rambat dan makanan lainnya, yang tidak asing dengan memori kuliner orang Taiwan. Bedanya, hidangan penutup ini sering kali dimasak dengan daun pandan, dan setelah matang, akan disiram dengan satu sendok makan saus santan untuk menambah aroma.
Liu Ming-fang yang berasal dari Indonesia kaya akan pengetahuan kuliner, ia suka berbagi perbandingan antara kuliner Asia Tenggara dan Taiwan.
Kudapan Bak Liukan Menawan
Kuliner Asia Tenggara sering kali menyukai perpaduan rasa yang kompleks, daun pandan yang seperti harum aroma keladi, bisa diseduh sebagai minuman teh, juga untuk memasak nasi, bahkan menjadi kudapan, menjadi raja bahan rempah nabati yang sangat umum kegunaannya. Lalu pohon kelapa yang tumbuh di mana-mana, fungsinya sangat banyak misalnya kelapa parut yang harum, santan dan minyak kelapanya. Bunga telang yang warna birunya sering dipakai dalam makanan, juga sering muncul dalam kudapan.
Masih ada lagi, yaitu gula. Gula di Asia Tenggara memainkan peranan yang menakjubkan. Masing-masing adalah gula jawa, gula aren dan gula lontar atau gula nipa. Ini semua merupakan gula yang orang Asia Tenggara sendiri tidak dapat membedakannya ternyata berasal dari tumbuhan pohon suku palem dengan aneka “jenis” yang berbeda dengan menelurkan rasa yang tidak sama.
Namun kesamaan dari semua itu adalah proses pembuatan secara alami, mempertahankan aroma harum gula, dengan tingkat kemanisan lebih rendah, lapisan rasa yang kaya dan bervariasi, tetapi tidak membuat enek. Dengan adanya gula-gula ini makanan Asia Tenggara memiliki cita rasa yang halus dan mendalam.
Pakar boga Angeline Tan asal Malaysia yang kini bermukim di Taiwan, melakukan riset kuliner dengan berkali-kali ke Asia Tengara, ia menuliskan pengalamannya, “(Suku Austronesia) pada pagi-pagi buta sudah mulai memetik bunga-bunga untuk diambil sarinya sebelum tertimpa sinar matahari yang bisa membuatnya masam dan rusak, setelah disaring lalu digodok dalam panci dengan kayu bakar, setelah seluruh kadar air menguap, dalam keadaan masih panas dimasukkan ke wadah yang terbuat dari tangkai daun yang dirajut tangan, ditunggu sampai membeku baru kemudian disimpan, semua proses pembuatan secara tradisional ini semua diselesaikan dengan kedua belah tangan saja.”
Menurut hasil riset Angeline Tan, pemanfaatan atas gula nabati ini, dimulai dari leluhur suku-suku Austronesia, kemudian perlahan-lahan memengaruhi dan menyebar ke suku lainnya. Namun kini, manusia berbagai ras suku bangsa di berbagai daerah di Asia tengara sudah mempunyai kebiasaan pemakaian gula yang berbeda sehingga sulit untuk menjelaskannya dalam waktu yang singkat.
Secara umum, mengingat produsen gula kelapa terbesar berada di (Amphawa) Thailand, masakan Thailand selalu ada kandungan gula kelapa, sementara di Indonesia, ada gula kelapa, gula aren dan gula nipa. Lalu di Kamboja dan laos karena kaya akan pohon aren maka kebanyakan menggunakan gula aren, dan menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat setempat, sehingga gula aren di Kamboja dianggap sebagai “Gula Nasional”. Lalu mengapa gula atap dari pohon aren jarang ditemukan? Karena manusia lebih suka menikmati “buah atapnya” daripada memangkas bunga atap untuk diambil gulanya.
Meskipun seiring dengan kemajuan ekonomi dan zaman, sebagai contoh Singapura, warganya lebih sering menggunakan gula putih yang sudah diproses. Namun belakangan ini, gula kelapa yang menjadi lambang gula nabati, dibuktikan para pakar sains kadar GI (Indeks Glikemik) hanya 35, jauh lebih sehat daripada gula putih, oleh karena itu gula kelapa menjadi pemasok utama bagi dunia barat yang sedang bertiup angin makanan sehat. Negara produsen gula kelapa menjadi kewalahan menerima pemesanan.
Peluang bisnis yang diciptakan oleh gula nabati Asia Tenggara, juga menarik perhatian orang Taiwan untuk menoleh ke selatan, mereka melakukan pembudidayaan, pemroduksian bahkan menjual dalam bentuk kudapan. Kedatangannya yang diam-diam mungkin tidak kita sadari, tetapi seperti perannya dalam makanan, rasa manis Asia Tenggara yang samar ini telah lama hadir dalam kehidupan sehari-hari orang Taiwan.
Kue bolu lapis yang dikenal orang Taiwan, terinspirasi dari kue lapis legit Indonesia.
Liu Ming-fang menyuguhkan ronde ala Asia Tenggara, ia menggunakan ketela rambat lokal, daun pandan, pewarna sari kaktus, untuk menciptakan semangkuk wedang ronde warna warni dengan aroma daun pandan, gula Jawa dan jahe. (Foto: Liu Ming-fang)
Untuk meneliti budaya kuliner, Angeline Tan sering bepergian ke berbagai tempat.
Angeline Tan menyuguhkan es campur bubur cha-cha dengan kreasi isi pisang, ketela rambat yang dipotong berbentuk bintang, ketela pohon yang diwarnai bunga mawar alami dan mutiara. Dengan topping gula aren, menciptakan kombinasi cita rasa yang manis.