Manis Terasa di Ujung Lidah
Bahasa Kue Ala Taiwan
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Farini Anwar
Agustus 2024
Menyaingi raja cokelat legendaris Willy Wonka, juga melebihi kue madeleine di tangan Marcel Proust yang sarat dengan cerita dan kenangan, cita rasa manis Taiwan tersembunyi dalam kue ala Taiwan. Diuleni dengan bahan-bahan lokal, Kue Han (mengacu pada kue yang dibuat dengan teknik tradisional Tiongkok) terus diinovasi menjadi cita rasa kue khas Taiwan yang berkesan dalam ingatan.
Kue kering mentega Yu Jan Shin Foods versi 5.0 mengembangkan pembuatan kulit berbentuk sarang lebah agar tidak mudah hancur.
Cita Rasa Manis:Metode Keagamaan Kuno
Pakar budaya makanan tradisional Taiwan Tseng Pin-tsang mengemukakan, “Gula dan produk kue berhubungan erat, dan memiliki kaitan dengan keagamaan.” Catatan cara pembuatan gula tebu paling awal ditemukan di India, yang merupakan tempat asal lahirnya ajaran Buddha, di mana para biksu membuat kue dari gula untuk menarik masyarakat dan pengikut Buddha. Setelah penyebar ajaran Buddha memasuki Tiongkok, para pengikut Buddha juga menggunakan makanan manis untuk menarik umat, dan dalam kuil juga terdapat ruang “zhai” yang menyediakan kue-kue bagi para peziarah. Sebenarnya kisah kuno inilah yang menjadi awal mula banyak toko penjual kue menggunakan kata “zhai” (bermakna pola makan/diet Buddha) sebagai nama, demikian tutur Tseng Pin-tsang mengawali perbincangannya.
Lama kelamaan, kegunaan kue memiliki dua makna penting, yang pertama adalah persembahan bagi para dewa, yang kedua adalah dinikmati sendiri. Kue digunakan sebagai barang persembahan ritual, dan juga produk hadiah.
Kue ala Taiwan mewarisi tradisi kue Han, juga berinovasi dengan bahan-bahan lokal untuk menampilkan ciri khas Taiwan.
Kue: Penghubung Antarpribadi
Di Taiwan, kue juga memiliki fungsi sebagai penghubung antarpribadi. Tseng Pin-chiang mengatakan, “Pertarungan sering terjadi di Taiwan pada masa-masa awal, tidak ada kerukunan antar suku, tetapi di luar dari itu kami juga telah mengembangkan cara untuk mengungkapkan niat baik yang kondusif bagi integrasi sosial antar suku.” Contohnya, membagi-bagikan kue pada hari-hari tertentu seperti pada saat Tahun Baru Imlek dan Festival Pertengahan Musim Gugur.
Tseng Pin-chiang mencontohkan, pada saat menggelar pesta makan bersama saat anak perempuan menikah, tamu yang diundang datang harus membalasnya dengan memberikan amplop merah. Karena membuat orang lain mengeluarkan uang, pihak tuan rumah sebelum mengundang biasanya bertanya, “Anak saya akan tunangan, apakah boleh memberikan Anda kue tunangan?” Mengirimkan bingkisan kue pertunangan bertujuan untuk memastikan hubungan antara kedua belah pihak, agar tidak dadakan tanpa pemberitahuan dan dianggap tidak punya etika. Timbal balik seperti ini menandakan bahwa hubungan kedua belah pihak akan berkelanjutan. “Ini merupakan etika dan adat istiadat kita, membangun dan memperkuat jalinan hubungan.” Dengan demikian kue merupakan simbol penting dari adat istiadat Taiwan.
Terobosan Baru Pasca Kolonial Jepang
Penduduk imigran yang datang ke Taiwan pada masa-masa awal kebanyakan datang dari Chaozhou, Shantou, Zhangzhou dan Quanzhou, dan mereka juga membawa ragam kue khas daerah mereka ke Taiwan. Perpindahan kekuasaan Taiwan ke Jepang pada tahun 1895 membuat para pembuat kue tradisional Han harus mengikuti tren pasar dan memproduksi kue-kue yang disesuaikan dengan selera orang Jepang. Juga ada pembuat kue dari Taichung yang ke Jepang guna melanjutkan belajar seperti Yen Shin-fa, Pao Chuan dan lainnya, dan mereka membawa pulang konsep pembuatan kue ala barat.
Penjelajah toko kue Chang Tsun-chen juga setuju bahwa kue ala Taiwan mendapat pengaruh dari luar. Sebagai contoh, kue kukus gula merah Penghu adalah teknik pembuatan kue “Agarasaa” Jepang yang dipelajari dari koki di Ryukyu. Kue ubi Hualien adalah perpaduan yang luar biasa dari ubi Taiwan dengan wagashi (kue dan permen tradisional Jepang). Pemilik toko kue San Xie Cheng di Tamsui belajar cara membuat kulit pia ala barat karena ada saudara yang bekerja di Konsulat Inggris, ini membuat kue pia yang dibuatnya lebih renyah, rasanya juga lebih condong ke ala barat. Yuzhenzhai di Lukang Changhua membuat “butiran kacang merah” juga karena menyesuaikan dengan kegemaran orang Jepang akan cita rasa kacang merah.
Proses pembuatan kue ala Taiwan cukup rumit tetapi memiliki estetika khas tersendiri.
Proses pembuatan kue ala Taiwan cukup rumit tetapi memiliki estetika khas tersendiri.
Manisnya Taiwan
Lalu seperti apa sebenarnya manisnya Taiwan? Chang Tsun-chen memberikan jawaban, “Saya rasa manisnya Taiwan ada dua jenis, yang pertama adalah manis berbagi, satunya lagi adalah berkat dari Yang Maha Kuasa.” Bagaikan memberi pembelaan terhadap kue, Chang mengatakan, “Kue-kue ala Taiwan tidak pernah diperuntukkan untuk Anda habiskan sendirian, melainkan untuk dipotong-potong dan dinikmati bersama.” Setelah dipikir-pikir benar juga, pada zaman dulu kue dibuat berdasarkan pesanan, kue sebesar itu sudah pasti tidak dapat dimakan oleh satu orang saja!
Generasi ketiga dari Yu Jan Shin Foods pelopor kue mentega renyah Dajia, Alan Chen juga berbagi pengalaman, kue renyah ini biasa digunakan sebagai bingkisan pernikahan di kawasan tengah Taiwan, tuan rumah akan mengirimkan kue renyah ke semua orang di desa, berbagi kegembiraan dengan mengundang semua orang untuk “makan sesuatu yang manis.”
“Lahirnya banyak kue karena hubungannya dengan persembahan.” Chang Tsun-chen kembali menjelaskan, persembahan kue adalah media komunikasi antara manusia dengan dewa. Penyajian kue di meja altar persembahan saat perayaan atau festival semuanya bermakna pemanjatan harapan berkah dan keberuntungan, usai sembahyang barulah dibagikan ke kerabat dan teman untuk menikmati bersama berkah yang dianugerahkan oleh dewa.
Cita rasa manis adalah metode yang digunakan dalam ritual keagamaan kuno, biasanya toko roti bersebelahan dengan kuil.
Lı̍ktāu phòng - Cita Rasa Nostalgia Seratusan Tahun
Lı̍ktāu phòng (綠豆椪), nama dari pia kacang hijau dengan kata phòng (椪) yang bermakna mengembung diambil dari penampakan luar yang bulat mengembung saat dipanggang, berawal dari sebuah kejadian tidak terduga.
Yang menciptakan lı̍ktāu phòng adalah toko roti Old Xuehuazhai yang berada di Fengyuan, Taichung. Sang pendiri toko roti, Lu Shui mempelajari keahlian dari Chen Chu, seorang ahli kue dari Shantou, Guangdong, juga mendapat apresiasi dari Chen De-quan sehingga mendanainya untuk membuka toko. Lu Hong-ren adalah generasi ketiga yang meneruskan usaha ini, ia mulai menceritakan kelahiran dari lı̍ktāu phòng
Lı̍ktāu phòng adalah kue ala Taiwan dengan kulit kue renyah berlapis-lapis dibuat dengan metode pengilasan serta pelipatan adonan kulit (adonan tepung dan minyak/mentega/margarin), kemudian diisi dengan adonan kacang hijau kupas, daging cincang dan lainnya. “Kekhasan kue ala Taiwan adalah isinya banyak dan kulitnya tipis, biasanya isian dari kue sudah diproses dan kebanyakan sudah dapat disantap, untuk itu yang paling utama dari kue ala Tiongkok adalah pemangangan dari kulit kue yang berlapis-lapis.” Pemanggangan kue pada zaman dulu menggunakan arang, dan karena api arang sulit dikendalikan, sang koki harus terus menjaga api dan membolak-balikkannya agar kue yang dipanggang matang merata. “Tetapi selalu saja ada beberapa yang lupa dibalikkan,” ujar Lu.
Karena hanya satu sisi kue yang dipanaskan, sisi lain akan mengembung dengan kulit berwarna putih seperti salju karena tidak menyentuh loyang besi. Lu Shui merasa ini berpotensi untuk dijual, maka mencoba metode ini berkali-kali. Istri Lu Shui melihat bentuk kue yang mengembung bulat seperti bola ping pong tanpa sengaja mengucapkan “Lı̍ktāu phòng”, dari sinilah muncul sebutan ini. Keikutsertaan dalam “pameran kue Taiwan” yang diselenggarakan di Taichung pada tahun 1925, bersaing dengan beragam wagashi Jepang yang diperlombakan, kue ini berhasil mendapatkan medali perunggu.
Kini, kue lı̍ktāu phòng adalah produk kue yang harus disajikan di tiap-tiap toko kue di Taiwan, setiap toko memiliki kekhasan dari isian dan metode pemanggangan masing-masing, dapat dikatakan ini merupakan kue bulan ala Taiwan yang paling terkenal.
Lı̍ktāu phòng adalah kue ala Taiwan dengan kulit kue renyah berlapis-lapis dibuat dengan metode pengilasan serta pelipatan adonan kulit, kemudian diisi dengan adonan kacang hijau kupas, daging cincang dan lainnya.
Generasi ketiga pemilik toko roti Old Xuehuazhai, Lu Hong-ren bercerita, penciptaan lı̍ktāu phòng sebenarnya karena kelupaan membalik kue di panggangan.
Batangan Emas Kecil Penghasil Devisa - Fengli Su
Fengli Su (kue nanas) yang menggunakan kata homofon dengan bahasa Taiyu “ônglâi” (旺來) yang bermakna keberuntungan ini adalah buah tangan terkenal Taiwan, juga dijuluki sebagai “batangan emas kecil penghasil devisa”. Kampung halaman dari fengli su adalah Taichung, dan fengli su adalah inovasi baru dari toko roti berusia seratusan tahun “Yen Shin-fa”.
Generasi keempat pemilik Yen Shin-fa, Yen Jung-ching menceritakan bagaimana keluarganya memulai usaha toko roti dari kakek buyutnya Yen Ping. Kakeknya Yen Shu-mu mempelajari keterampilan membuat kue yang baik di Jepang, dan ialah inovator yang mengubah kue yang sekarang disebut fengli su. Yen Jung-ching menjelaskan, fengli su pada awalnya adalah kue nanas tradisional yang bentuknya besar, kakeknya mengubah kue nanas yang berbentuk bulat besar menjadi kue nanas dengan bentuk kotak kecil, kemudian mengganti kulitnya dengan kulit kue kering berbahan utama mentega, sedangkan untuk isiannya tetap mempertahankan adonan tradisional nanas dan kundur. Adiknya Yen Hsin-ping menjelaskan, “Serat buah nanas relatif kasar, rasanya juga cenderung asam dan sepat. Pada masa generasi kakek, kebanyakan orang suka makan yang manis dan berserat lembut, untuk itu kundur dipadukan sebagai bahan tambahan agar tekstur isian nanas menjadi lunak padat dan halus, sesuai dengan rasa yang disukai pada zaman itu.”
Salah satu toko pembuat kue nanas Taiwan bermerek internasional Sunnyhills pada tahun 2009 mencoba menggunakan bahan baku nanas lokal, dengan serat alami dan sedikit rasa asam, ternyata menjadikannya tren di pasar fengli su. Yen Jung-ching mengatakan bahwa ini juga sempat membuatnya terbuai dan ikut memproduksi kue nanas seperti ini, tetapi tanggapan dari pelanggan setianya yang lebih menyukai rasa tradisional “manis, lembut, dan lunak” membuatnya yakin untuk tetap bertahan dengan cita rasa keluarganya.
Generasi keempat dari Yen Shin-fa, Yen Jung-ching masih bersikeras membuat fengli su dengan cita rasa tradisional yang disukai pelanggan setianya.
Berkah Mazu Dalam Kue Kering Mentega
Apakah Anda juga kebingungan dan tidak dapat membedakan dengan jelas antara kue kering (酥餅), kue maltosa (麥芽餅), dan kue matahari (太陽餅)? Alan Chen, pemilik generasi ketiga Yu Jan Shin Foods yang adalah pelopor kue kering mentega (奶油酥餅) memberitahu kami, mendiang sejarawan Lin Heng-tao pernah meneliti dan menemukan bahwa “kue kering mentega adalah kakek dari kue matahari.”
Berdasarkan penelitian Lin Heng-tao, pada masa awal imigran yang datang ke Taiwan melalui parit hitam (sebutan lama dari Selat Taiwan), selain membawa patung Dewi Mazu dari kampung halamannya, mereka juga membawa persembahan untuk Mazu berupa kue wijen ala Fujien sebagai makanan. Demikianlah awal mula tersebarnya kue wijen ala Fujien ke Taiwan.
Pada mulanya kue kering populer di pesisir pantai kawasan tengah Taiwan, kemudian dibawa hingga ke kawasan pegunungan, seperti daerah Fengyuan yang memiliki banyak pasokan barang dan sumber daya alam, yang kemudian berkembang menjadi kue maltosa.
Kue maltosa dapat dikatakan sebagai pendahulu dari kue matahari. Berdasarkan cacatan sahifah, koki Wei Qing-hai menyempurnakan dan mengubahnya menjadi “kue matahari” yang terkenal dan menjadi makanan khas Taichung.
Yu Jan Shin Foods yang berlokasi di sebelah Kuil Jenn Lann di Dajia memulai usahanya sejak tahun 1966. Alan Chen memberitahu kami bahwa Akong Chen Ji-zhen sebenarnya pada waktu itu hanyalah orang awam yang tidak tahu membuat kue, berkat upaya keras tiga generasi dari keluarganya untuk meneliti dan mengembangkan, akhirnya kue kering mentega berkembang menjadi salah satu dari tiga harta karun di Dajia.
Dengan memegang kue kering mentega di tangan, Alan Chen mengatakan, “Kue kering sekarang adalah versi 5.0.” Bagaimana perkembangan versinya? Versi 1.0 adalah kue kering jenis paling tradisional yang dijual berdasarkan beratnya. Versi 2.0 adalah kue kering dengan standar kepingan. Untuk versi 3.0, minyak babi diganti dengan mentega alami sesuai dengan suara hati vegetarian, dan menjadi asal mula nama “kue kering mentega”.
Versi 4.0 mengikuti perkembangan zaman, mendengar kebutuhan orang zaman sekarang yang ingin sehat dan tidak suka terlalu manis, mengganti gula pasir dengan oligosakarida sehingga cita rasa tidak berkurang tetapi beban yang ditanggung tubuh menjadi lebih kecil. Untuk versi 5.0, penyempurnaan yang terinspirasi dari sarang lebah berbentuk heksagon diterapkan dalam metode pembuatan kulit kue untuk mengatasi masalah kulit kue yang mudah hancur berserakan, sehingga jadilah kulit kue berbentuk sarang lebah.
Bahan baku dari kue kering tradisional sebenarnya sangat sederhana, yaitu minyak babi, tepung terigu dan maltosa saja, tetapi mengapa memperlakukan kue kering begitu “serius” (bahasa Taiyu tíng-tsin), semua berawal dari “puisi ramalan dengan enam jawaban setuju berturut-turut melalui poa pwe”, sehingga dimulailah usaha pembuatan kue Yu Jan Shin memenuhi janji kepada Mazu.