Bulan Ketiga Kalender Imlek Pemujaan Dewi Mazu
Dewi Termasyhur di Taiwan
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Lin Min-hsuan Penerjemah‧Amina Tjandra
Agustus 2022
00:00
農曆三月,許多媽祖廟會藉由進香的名義,走出宮廟,親近信徒,形成萬人空巷的局面,其中又以台中大甲媽與苗栗通霄白沙屯媽的進香最受矚目。Discovery探索頻道更將大甲媽遶境進香列為世界三大宗教慶典之一。2010年,文化部文化資產局登錄「大甲媽祖遶境進香」、「北港朝天宮迎媽祖」、「白沙屯媽祖進香」為國定的重要民俗。媽祖信仰也是世界非物質文化遺產,而台灣正是世界媽祖信仰的核心與重鎮。
Memasuki bulan ke-3 penanggalan imlek, kebanyakan Dewi Mazu akan menggelar prosesi, ke luar dari kuil kediamannya untuk mendekati para penganutnya yang akan menarik massa berdatangan mengikuti kegiatan religi ini, di antaranya prosesi arak-arakan Dewi Mazu dari kuil Dajia Jenn Lann, Taichung dan kuil Gongtian Baishatun Tungxiao, Miaoli yang paling banyak menarik perhatian. Saluran televisi Discovery juga pernah melaporkan prosesi arak-arakan Dewi Mazu Dajia sebagai 3 perayaan keagamaan terbesar dunia. Pada tahun 2010, Direktorat Jenderal Warisan Budaya Kementerian Kebudayaan mencatat “Prosesi Arak-arakan Dewi Mazu Dajia”, “Penyambutan Dewi Mazu di Kuil Chaotian Beigang”, “Ritual Ibadah Suci Dewi Mazu Baishatun” menjadi tradisi penting masyarakat Taiwan. Pemujaan Dewi Mazu juga menjadi warisan budaya tak benda dunia, sedangkan Taiwan menjadi markas utama penting bagi kepercayaan Dewi Mazu di seluruh dunia.
Tandu yang dikerumuni khalayak ramai, yang duduk di tandu adalah dewi termasyhur di Taiwan, Dewi Mazu. Menurut legenda di zaman Dinasti Song Utara ada seorang penyihir wanita bernama Lin Mo, pada awalnya hanyalah seorang dewi yang disembah sebagai pelindung nelayan sepanjang pantai di Provinsi Fujian, Daratan Tiongkok kawasan Tenggara, akan tetapi seiring dengan keajaiban-keajaiban yang ada selama bertahun-tahun, keilahian Dewi Mazu terus berkembang luas, bertransformasi menjadi kekuatan yang mampu mengendalikan segala sesuatu yang berkaitan dengan “air”, kemudian Dewi Mazu lebih dikenal sebagai Dewi Laut dan Pertanian. Sejak Dinasti Song, kanonisasi kaisar tidak henti-hentinya dilakukan, saat Laksamana Shi Lang diperintahkan untuk menyerang Taiwan pada awal masa Dinasti Qing, keberhasilannya dalam operasi penaklukan dinilai mendapat berkah dari Dewi Mazu, maka Kaisar Kangxi menobatkan Lin Mo dengan gelar “Ratu Surgawi”, karena memperoleh dukungan dari pemerintahan masa tersebut maka penganutnya semakin memuncak dan semakin memperkuat fondasi kepercayaan Dewi Mazu di Taiwan.
Menggandrungi Dewi Mazu pada bulan ketiga penanggalan imlek, akan lebih menyelami jika mengikuti kegiatan prosesi Dewi Mazu di jalan, merasakan rangkaian interaksi antar manusia, benda dan kejadian. Gambar menunjukkan situasi Prosesi Dewi Mazu Baishatun tahun 2018. (foto: Jimmy Lin)
Kepercayaan Dewi Mazu yang Mengakar
Taiwan adalah komunitas imigran, pendatang periode awal diyakini berasal dari Quanzhou dan Zhangzhou, kedua kelompok pendatang ini demi kelangsungan hidup terus-menerus bertempur memperebutkan sumber daya selama ratusan tahun. Hingga tahun 1860, konflik suku ini mulai berangsur mereda, kehidupan imigran mulai mengakar dan berubah mengakui diri sebagai penduduk lokal Taiwan. Ketika hendak membangun kuil umum di perkampungan, manakah dewa yang dipilih untuk disembah? Seorang asisten profesor fakultas antropologi National Tsing Hua University, Lu Mei-huan menjelaskan, Dewi Mazu yang merangkul etnik dan wilayah, menjadi dewi utama yang dipercayai oleh pendatang suku Han di Taiwan.
Mengenai sebutan bagi Dewi Mazu, selain gelar yang dinobatkan oleh pemerintah seperti “Tian Fei (artinya: Putri Langit)”, “Sheng Fei (artinya: Putri Suci)”, “Tien Hou (artinya : Permaisuri / Ratu Surgawi)”. Di Taiwan lebih akrab disebut sebagai “Mazu Po”, “Po A”, ”Ku Po”, “Niang Ma” (artinya: Nenek Mazu) dan lainnya, kemudian bagi mereka keluarga bermarga Lin lebih menyukai memanggilnya dengan sebutan akrab “Ku Po Zu” (artinya Nenek Buyut). Lin Mei-rong yang menjabat sebagai analis di Institut Etnologi, Academia Sinica menjelaskan terdapat beberapa panggilan yang serupa dengan sebutan dalam sistem kekerabatan, hal ini menunjukkan warga Taiwan dan Mazu sangat dekat, bagaikan orang tua dalam keluarga, masalah apapun bisa disampaikan kepadaNya dan tidak sedikit anak-anak yang sejak kecil menjadi anak angkat Dewi Mazu.
Keyakinan Dewi Mazu dan kehidupan masyarakat Taiwan saling berkaitan erat. Kuil menjadi pusat kehidupan penduduk lokal. Gambar menunjukkan Kuil Gongtian (foto: Kent Chuang)
Nenek Mazu Yang Istimewa
Lu Mei-huan yang menelaah religi Dewi Mazu selama bertahun-tahun, berbicara tentang kemakmuran dalam “prosesi arak-arakan Dewi Mazu”, ia mengatakan, “prosesi” dan “arak-arakan” dalam aliran keagamaan tradisional memiliki makna yang berbeda, di masa lalu “prosesi” adalah para penganut mengikuti arahan dari kuil setempat menuju ke kuil utama atau kuil tertua sepanjang sejarah untuk bersembahyang dengan cara menancapkan dupa, api dupa memiliki simbol makna relasi dari umat untuk Yang Kuasa di atas langit. “Arak-arakan” merupakan pemberkatan dari dewa kepada umatnya dan membersihkan komunitas setempat dari roh jahat dengan cara berkeliling mengitari komunitas setempat, inilah relasi dari Yang Kuasa di atas langit kepada umat di bumi. Akan tetapi, kini makna prosesi dan arak-arakan menjadi rancu, di antara kuil-kuil tidak lagi mengutamakan relasi api dupa dan maknanya malah lebih menekankan pada hubungan kemitraan yang setara dalam ritual prosesi. Umumnya, dewi dari kuil setempat akan keluar kota menuju kuil utama, setelah mendapat api dupa dari kuil suci, dalam perjalanan kembali ke kuil melakukan arak-arakan di sekitar komunitas sambil membagi berkah.
Lu Mei-huan yang pernah mengikuti kegiatan prosesi Dewi Mazu dari kuil Dajia dan Baishatun, mengenang kembali prosesi keduanya terdapat perbedaan. Kuil Dajia Jenn Lann Taichung adalah salah satu kuil perwakilan Dewi Mazu, setiap tahun menggelar ritual Arak-Arakan Dewi Mazu dimulai dari distrik Dajia yang melintasi 4 kabupaten dan kota yaitu Taichung, Changhua, Yunlin dan Chiayi. Perjalanan tempuh lebih dari 300 km selama 9 hari 8 malam, sesampai di kuil Fengtian di Xinggang Chiayi, para penganut memberi ucapan selamat dan bersama merayakan ulang tahun Dewi Mazu Xingang.
Jika dibandingkan dengan kuil Dajia, kuil Gongtian Baishatun di Tungxiao Miaoli adalah kuil kampung, dan bagi penganutnya, Dewi Mazu Baishatun adalah dewi yang paling dekat dengan umat manusia, dewi welas asih yang mau mendengar dan menyelamatkan umat dari penderitaan. Setiap tahun prosesi Dewi Mazu Baishatun bergerak menuju ke Kuil Chaotian Beigang dengan jarak tempuh mencapai lebih dari 400 km, dengan rute perjalanan yang tidak menentu, arah dan jalur yang ditempuh sepenuhnya menurut petunjuk dari Dewi Mazu. Selain rute perjalanan yang tidak pasti, masih ada tambahan pengikut dari luar yang ingin mendekati dan berinteraksi dengan Dewi Mazu, maka pernyataan bahwa “Dewi Mazu meremajakan desa” telah terkabulkan.
Lu Mei-huan menjelaskan pada tahun 2001 Dewi Mazu Baishatun turun ke sungai Zhuoshui, ia turut menyaksikan momen bersejarah ini, pada waktu itu ia merasa sangat terharu.
Bergerak untuk Mempertalikan
“Pada dasarnya dengan mengatasnamakan kegiatan prosesi, Dewi Mazu keluar dari kuil kediamannya untuk mempertalikan berbagai sumber dari aspek keagamaan, politik, ekonomi maupun kelompok masyarakat lainnya serta membangun dan memperkuat beberapa relasi ini.” ungkap Lu Mei-huan menjelaskan.
Pada awalnya kegiatan prosesi Dewi Mazu Baishatun hanya diikuti warga lokal (disebut sebagai “xiang deng jiao”, artinya: penganut), kini hampir 90% yang mengikuti kegiatan ini adalah warga luar. Rute perjalanan prosesi Baishatun yang tidak menentu, ditambah lagi dengan derap langkah kaki yang tidak sama maka jika ingin mengikuti prosesi arak-arakan tandu Dewi Mazu di jalanan (disebut dengan “sui xiang”, artinya berjalan kaki mengikuti prosesi ibadah suci) bukanlah hal yang gampang. Oleh karena itu, di antara para penganut juga terdengar pesan “yang mampu berjalan wajib menunggu yang tertinggal di belakang”, ini menunjukkan prosesi tengah berlangsung, semua saling membantu dan saling menjaga.
Selama prosesi Baishatun berlangsung, makanan-minuman, tempat beristirahat atau penginapan yang disediakan di sepanjang jalan semua adalah atas inisiatif penganut sendiri sebagai persembahan untuk kegiatan suci ini. Lu Mei-huan mengatakan, beberapa sumbangan ini juga ditanyakan kepada Dewi Mazu, para penganut akan menggelar ritual lempar boa (boa bwe) menanyakan apakah disetujui atau tidak? Berapa banyak yang perlu dipersiapkan? Pada umumnya yang sesuai dengan kehendak Dewi Mazu maka akan dialokasikan semuanya tanpa tersisa sehingga tidak akan menimbulkan pemborosan maupun beban tanggungan. Beberapa tahun terakhir ini, kelompok pengikut ibadah suci menciptakan produk cendera mata (produk yang menjalin hubungan Dewi Mazu dengan umatnya) seperti jimat kedamaian, kartu cendera mata kecil, aksesoris gantungan, tas ransel, gantungan kunci dan lainnya. Di tengah perjalanan membagikan kepada mereka yang berjodoh, atau diperuntukkan kepada mereka yang membantu dan meminjamkan tempat istirahat, produk cendera mata hanyalah barang kecil tetapi menjadi bukti jalinan hubungan antara umat dan Dewi Mazu, juga mencerminkan hubungan antar manusia.
Lin Mei-rong menjelaskan, dewa laki-laki di dalam komunitas suku Han perlu menunjukkan kekuatanNya maka kunjungan ziarah warga dari seluruh penjuru menandakan kekuasaanNya. Akan tetapi Dewi Mazu malah sebaliknya dengan menggunakan prosesi bergerak keluar untuk beribadah, mempertalikan segala sumber dari segala aspek yang membentuk pengaruh kuat. Seperti pandangan tradisional dalam komunitas suku Han yang mengakui laki-laki memimpin masyarakat, sementara wanita memimpin dalam rumah tangga, akan tetapi wanita sangat hebat, wanita bisa menyambangi satu rumah ke rumah lainnya, mampir ke setiap kerabat dan mempertalikan dan saling bertukar sumber daya. Lin Mei-rong dengan agresif mendeskripsikan kelincahan pergerakan wanita di tengah komunitas suku Han, maka Dewi Mazu menggelar prosesi dan bergerak dari satu kampung ke kampung lainnya, mempertalikan mereka dan memberikan pengaruh besar, “Kepercayaan terhadap Dewi Mazu di Taiwan sebegitu dahsyat, menunjukkan pengakuan kemampuan wanita dalam komunitas patrilineal.”
Mengikuti prosesi Dewi Mazu yang berlangsung sekali setahun, Anda dapat merasakan kehidupan masyarakat Taiwan dan keramahan mereka, serta merasakan kekhasan Taiwan dalam ritual pemujaan dewa.
Jalan yang Ditentukan Dewi Mazu
“Kilas balik mengenang Taiwan pada satu abad yang lalu, di bawah kondisi modernisasi yang menjunjung nilai rasional dan ilmu pengetahuan semakin maju berkembang, kepercayaan masyarakat dinilai ketinggalan zaman, takhayul dan Utilitarianistis dibandingkan agama-agama Barat.” Kata Lu Mei-huan, akan tetapi dia juga mengungkapkan sejak melakukan survei lapangan kegiatan prosesi Baishatun pada tahun 2001, pada tahun tersebut di tengah perjalanan kembali ke kuil, Dewi Mazu Baishatun tidak lagi memilih melintasi jembatan Xilou, pembawa tandu mengikuti pergerakan tandu Dewi Mazu yang membawa mereka turun ke sungai Zhuoshui. Menjadi saksi momen bersejarah, sebagian orang bertanya, “Benarkah harus turun ke sungai?” akan tetapi penganut lokal yang memandu berkata, “Jangan takut! Dewi Mazu yang memandu jalan, aman!” “Keyakinan” seperti ini membuat semua melepas sepatu dan kaus kaki, satu demi satu bergandengan tangan, saling membantu, langkah demi langkah kaki menginjak air sungai berpasir yang terus mengalir. “Pada saat itu air dalam sungai terasa dingin, saya merasakan kehangatan dalam bergandengan tangan, di pinggiran sungai tiupan angin sepoi-sepoi yang membawa pasir, setiap orang bersujud menyembah Dewi Mazu, panorama yang begitu mempesona, setiap orang terharu meneteskan air mata.” Lu Mei-huan menceritakan kembali kejadian pada masa itu, “Ini juga menandakan keyakinan telah merasuk ke dalam lubuk hati setiap umat.”
Beberapa tahun terakhir ini dengan semakin tingginya kesadaran penduduk lokal Taiwan, prosesi Dewi Mazu juga menjadi bagian dalam pengalaman yang ingin dirasakan generasi muda setidaknya “sekali seumur hidup”. Generasi muda memanfaatkan video menangkap setiap momen prosesi, yang menunjukkan perbedaan fokus perhatian mereka dengan orang tua. Para pelajar berbagi dengan Lu Mei-rong, selama perjalanan wajib mencicipi kuliner setempat, dan bagaimana mengatasi kapalan di telapak kaki selama mengikuti jalannya prosesi. “Yang kaum muda pedulikan adalah “Saya ada di sini”, “Inilah yang saya rasakan” dan lainnya”. Memanfaatkan fisik mereka untuk menyelami budaya sendiri, ingin lebih memahami komunitas ini, ingin menyaksikan bagaimana kehidupan orang lain, tiada keraguan untuk menampilkan rasa percaya diri terhadap budaya sendiri.
Lin Mei-rong yang mendalami penelitian penduduk lokal Taiwan selama bertahun-tahun mengatakan, budaya lokal pada masa awal selalu mendapat tekanan, hingga ada gerakan Taiwanization pada era tahun 1980, secara perlahan-lahan mulai ada pencerahan dan pengakuan akan tanah air, Dewi Mazu adalah dewi termasyhur di Taiwan, keyakinan terhadap Dewi Mazu dengan kehidupan masyarakat Taiwan berkaitan sangat erat. Sebenarnya tidak hanya menggandrungi Dewi Mazu pada setiap penanggalan imlek bulan ketiga, akan tetapi masyarakat Taiwan sepanjang tahun memuja Dewi Mazu. Sebagian besar kuil Dewi Mazu adalah museum yang menyimpan rekam jejak sejarah zaman itu dan keterampilan tangan tukang kayu, kesenian tradisi masyarakat seperti sanggar musik, sanggar bela diri dan parade kuil Zhentou yang menyertai keyakinan Dewi Mazu ikut maju dan berkembang menjadi rupa baru. Lin Mei-rong mengajak teman-teman asing, apabila berkunjung ke Taiwan jangan sampai ketinggalan untuk mengunjungi kuil Dewi Mazu, mengikuti prosesi Dewi Mazu yang digelar satu tahun sekali, merasakan keramahan dan kehidupa