Sajian Kuliner Changbin dan Fengbin
Mencicipi Menu Suku Amis yang Diberkahi Pegunungan dan Lautan Luas
Penulis‧Lynn Su Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Yunus Hendry
Juni 2023
Ikuti langkah tetua desa, Chen Li-nian, bersama-sama mengenal kebudayaan Suku Amis.
鯨豚色的大海拍岸,依山而建、色彩明豔的原鄉部落,一處處面向大海的小教堂。比國外還要遙遠的雙濱,沒有什麼眾所皆知的熱門景點,卻有著難得的安靜、閑逸,吸引著旅人一次又一次地回來。
Kilau ombak berwarna perak bak kulit lumba-lumba menerpa pantai pesisir. Di sini terdapat pemukiman Suku Penduduk Asli yang dibangun di lereng bukit dengan warna-warna cerah, di setiap sudut juga terlihat bangunan gereja kecil yang menghadap ke laut. Letak pedesaan Fengbin dan Changbin yang cukup terpencil, membuat kawasan ini tidak memiliki atraksi wisata ternama. Meski demikian, di sinilah warga bisa memperoleh ketenangan dan waktu luang yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Hal ini juga yang kemudian menarik minat wisatawan untuk berkunjung berkali-kali.
Tidak ada jalan pintas saat mengunjungi Fengbin dan Changbin. Membutuhkan waktu setidaknya tiga jam, jika mengemudi kendaraan dari Taipei. Pemberhentian pertama kami adalah pemukiman Tingalaw, yang terletak di Fengbin, Hualien. Saat makan siang kami dijamu di rumah pemimpin suku, dengan menu salad kacang kecipir, tumis
Nostoc Commune dan siput, masih ada panci besar berisi sup yang terbuat dari sayur-sayuran liar.
“Suku Amis pada dasarnya akan memakan semua yang terdapat di permukaan bumi, kecuali pesawat di langit, mobil di jalan dan kapal selam di dasar air,” demikian tutur salah seorang tetua desa, Chen Li-nian. Mereka dikenal dengan sebutan “suku pemakan rumput”, yang memiliki naluri tajam untuk menjelajahi alam raya. Meski ada kebudayaan bercocok tanam, tetapi menu makan 3 kali sehari tetap diperoleh dari kawasan setempat. Hal ini berbanding terbalik dengan gaya hidup perkotaan, yang sebagian masyarakatnya mengandalkan produk makanan beku. Chen Li-nian menuturkan, kulkas Suku Amis tersebar di kawasan pegunungan tinggi dan lautan luas, menjadikan kualitas makanan mereka lebih segar.
Shuangbin adalah pemukiman suku penduduk asli yang dikelilingi oleh pegunungan dan lautan luas, yang menawarkan ketenangan dan kenyamanan tersendiri.
Menyelami Dunia Bahasa Austronesia
Setelah selesai menyantap makanan, kami mengikuti Chen Li-nian masuk ke dalam pegunungan. “Saya harap langkah Anda bisa melambat, sebaiknya lebih lambat tiga kali dari pergerakan Anda di tanah datar,” tambah Chen Li-nian. Dengan berpakaian ala kadarnya, sebelum masuk ke kawasan pegunungan, Chen Li-nian mengatupkan bibirnya lalu bersiul perlahan. Konon hal ini bisa menuntun embusan angin untuk masuk ke dalam dan mengiringi perjalanan yang ada.
“Di sini, Anda bisa mengenal kebudayaan Austronesia yang belum Anda ketahui,” ujar Chen Li-nian. Penduduk setempat bahkan menertawakan pedesaan ini dengan cibiran “lebih banyak rumah daripada manusianya”. Meski tampaknya sangat tertutup, tetapi kawasan yang menghadap ke laut lepas ini, bagai dunia lain yang menawan. Menurut penelitian dari para antropolog, ini adalah tempat lahirnya rumpun bahasa Austronesia.
Kami mengikuti Chen Li-nian untuk kemudian belajar “melihat pedalaman hutan”, serta mengenal lubang yang digali oleh babi hutan, jalan setapak yang dilalui kambing gunung, kotoran yang ditinggalkan oleh monyet dan sisa sarang semut yang dimakan oleh trenggiling. Kami juga diperkenalkan dengan pohon buah kesemek dan buah sukun, yang digunakan Suku Amis untuk membuat kano. Selain itu, masih ada tumbuhan Pennisetum Purpureum yang suka dikumpulkan ibu-ibu pemukiman dan Alpinia Formosana yang bisa menyelamatkan nyawa manusia saat berada di alam liar.
Akhirnya kami tiba di lereng gunung dengan ketinggian 362 meter dari permukaan laut, dan disambut dengan aroma kopi yang semerbak. Ini adalah hasil kerja keras bercocok tanam dari pemimpin suku Xu Yong-zhe dan istrinya bernama Ye Mei-zhu di Tingalaw. Mereka pensiun sepuluh tahun lalu, kemudian pindah dari Kota Taipei kembali ke kampung halaman. Area seluas 2 hektar yang terletak di kawasan perbukitan kemudian ditanami pohon kopi. Aroma biji kopi juga sangat merata. Putri mereka berdua, Hsu Ching-juan, kemudian menciptakan merek “Coastal Cofee”, yang membuat tempat ini menjadi area perkebunan kopi unik di pesisir pantai timur. Di bawah rimbunnya pepohonan hutan, aroma kopi disangrai dengan menggunakan api arang, menjadi pengantar utama bagi para wisatawan untuk kemudian menjelajahi kawasan pemukiman suku.
Wangi kopi semerbak dari permukiman Tingalaw, menarik para wisatawan untuk menikmatinya.
Siput Giok Putih yang Lahir dari Menu Tradisional
Beranjak meninggalkan Tingalaw, kami pun bergerak menuju kawasan selatan, Changbin, Taitung. Di sini terdapat satu-satunya peternakan di Taiwan yang bergerak di bidang pembudidayaan siput giok putih, yakni peternakan AWOS. Melangkah masuk ke dalam ladang hijau, kami disambut dengan menu kapal selam siput giok putih. Sambil melahap menu yang ada, kami pun mendengarkan penjelasan dari pemilik peternakan, Wen Hong-cheng, perihal asal muasal usahanya.
Wen Hong-cheng yang merupakan petani Suku Amis tersebut, sedari kecil mengikuti ayahnya bercocok tanam di sawah. “Di pagi musim panas, kami akan membawa periuk berisi beras lalu keluar rumah. Periuk tersebut tidak berisi lauk pauk. Ketika siang tiba, siput dan kodok yang berada di pinggir sawah akan menjadi makanan utama kami. Kemudian akan kami makan bersama dengan Crassocephalum Crepidioides yang tumbuh di alam liar.”
Dengan berbekal latar belakang inilah, ketika kembali ke kampung halaman lima tahun yang lalu, ia secara tidak sengaja menemukan nilai ekonomi tinggi dari hewan siput, yang kemudian menjadi titik awal dari bisnisnya. Namun, siput yang dipeliharanya bukanlah siput hitam yang biasa dimakan Suku Penduduk Asli, melainkan siput giok putih yang dikenal sebagai abalone darat dengan cita rasa lembut dan aroma yang lebih elegan. “Siput ini, ketika dimakan memiliki sentuhan aroma herbal yang lembut”. Bahkan warga Prancis yang gemar menyantap siput pun menyukai karakteristik dari varietas satu ini.
Ada 3 juta siput yang dipanen setiap tahunnya, dengan pengolahan awal akan dilakukan di area produksi terlebih dahulu, lalu berdasarkan bentuk tubuh akan dipisahkan menjadi lima kelas. Ukuran yang terkecil adalah keong nenek; Yang sering dihidangkan dengan cara ditumis di restoran kuliner Tionghoa adalah siput tingkat umum, dan siput yang dibakar di atas loyang porselen, serta siput kelas premium yang sering muncul dalam menu masakan ala Barat dengan berat di atas 30 gram. Setelah disortir, siput-siput ini akan disimpan dalam lemari beku berukuran besar dengan suhu -65℃, dengan demikian pasokan untuk sepanjang tahun akan senantiasa tercukupi.
Peternakan AWOS yang dijalankan oleh Wen Hong-cheng, saat ini merupakan satu-satunya peternakan siput giok putih di Taiwan.
Siput giok putih yang menyantap makanan utama berupa pepaya dan labu ini, memiliki tekstur lunak dan lembut, serta diperkaya dengan sentuhan aroma herbal.
Sesuap Makanan Kebudayaan Lokal
Ada orang yang menggambarkan perjalanan ini seperti, “Hidup Anda adalah pemandangan yang saya hampiri dari kejauhan.” Ketika berwisata ke Fengbin dan Changbin, arti perkataan ini akan lebih bermakna. Meski tidak ada spot wisata yang wajib disaksikan, tetapi wisatawan berkunjung ke tempat ini untuk melepaskan diri dari rumitnya kehidupan dan merasakan gaya hidup Suku Amis yang unik. “Di sini, hanya ada istirahat dan makan,” demikian tutur Nick Yang, Kepala Jurutama Masak dari restoran mewah ala Prancis, Sinasera 24, memberitahu saya.
Faktanya, Anda hanya perlu untuk benar-benar duduk dan makan, sudah bisa merasakan tekstur karakteristik lokal. Ini juga adalah niat awal Nick Yang saat menjalankan usaha restoran.
Restoran ini memiliki nama Sinasera 24, dalam bahasa Suku Amis, Sinasera berarti “bumi”, sedangkan “24” mengacu pada “24 posisi matahari”. Kuliner Prancis selalu mengedepankan karakteristik lokal, ia ingin mengubah kebiasaan waktu makan selama tiga jam menjadi pesta kebudayaan yang mengintegrasikan pancaindra manusia. Hal ini yang kemudian menjadikan restoran Sinatera 24 sebagai platform untuk mempresentasikan produk lokal.
Sama seperti penggunaan siput giok putih yang pertama kali dilakukan oleh Nick Yang, tidak hanya mempresentasikan kebudayaan kuliner Suku Amis, melainkan juga mempresentasikan keunikan iklim dan produk setempat. Apalagi AWOS saat ini adalah satu-satunya peternakan di Taiwan yang membudidayakan siput giok putih. Bukan hanya kualitasnya yang prima, tetapi seperti yang diutarakan Wen Hong-cheng, bahwa ini juga mendapat pemberkatan dari stabilnya cuaca di Changbin.
“Ini mungkin tempat yang paling cocok untuk beternak siput, apakah Anda percaya?” Seperti yang dijelaskan oleh Wen Hong-cheng, siput adalah hewan yang rentan terhadap perubahan cuaca. Mereka tidak dapat hidup dalam lingkungan dengan perbedaan suhu yang terlampau besar. Perbedaan suhu di Changbin hanya berkisar 6~8℃, meski saat itu adalah musim dingin. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika menyebut siput giok putih sebagai pusaka tanah Changbin.
Nick Yang, Kepala Jurutama Masak Sinasera 24.
Menghubungkan Petani dan Lokakarya Lokal
Banyak bahan makanan yang sulit ditemukan di pasar, tetapi berkat kerja keras Nick Yang, akhirnya bisa tersaji di meja makan restoran ala Prancis, layaknya batu giok yang terus dipoles, maka ia akan bersinar. Hal ini termasuk siput giok putih, garam yang diekstraksi langsung dari Samudra Pasifik, gula merah yang dimasak dengan kayu bakar yang langka, minyak kamelia dari permukiman Kusahala, belut dari permukiman Tjuaqau, serta buah stroberi Toyonaka yang sangat semerbak tetapi sulit diangkut, yang ditanam di kawasan Fenglin.
Nick Yang percaya, interaksi antara restoran dengan petani dan lokakarya bagai hubungan mutualisme antara ikan dengan air. Selain melakukan pemesanan, ia sering memimpin anggota tim restorannya berkunjung ke kawasan produksi untuk belajar. Selain memahami lebih dalam perihal bercocok tanam serta proses pembuatan dan budaya lokal, mereka juga saling berbagi pengetahuan tentang pengolahan makanan.
Aksi tersebut sejalan dengan semangat Slow Food, yakni gerakan yang didengungkan Italia. Dari meja makan hingga ke ladang pertanian, hanya dengan satu restoran saja, maka cukup untuk mengintegrasikan seluruh ekosistem industri, yang meski kecil tetapi luas jangkauannya. Melalui gerakan “Slow Food”, konsumen secara aktual dapat mendukung para produsen kecil lokal, yang juga bisa memastikan keberlangsungan budaya tradisional setempat untuk jangka panjang.
Cai Limu, belajar dari para tetua bagaimana cara mengekstraksi garam dari air laut, serta melestarikan teknik tradisional menggoreng garam dengan menggunakan tangan.
Makanan Berbintang Lahir dari Tekstur Orisinal
Begitu duduk di meja restoran Sinasera 24, orang-orang akan terkejut saat mengetahui bahwa pemukiman suku penduduk asli yang terletak di pesisir timur Taiwan memiliki kesamaan dengan Prancis yang jauhnya bisa mencapai ribuan mil. Kuliner Prancis sering menggemakan “santap makanan lokal, santap sesuai musim”, hal ini selaras dengan gaya hidup Suku Amis yang mengikuti ritme alam.
Namun yang berbeda adalah, kuliner Prancis menekankan pada susunan yang mendetail, sedangkan menu masakan Suku Amis adalah suguhan makanan ringan seperti yang dihidangkan di rumah para pemimpin suku yang terdapat di pemukiman Tingalaw, yakni disajikan dalam bentuk salad, ditumis atau direbus.
“Sangat tidak biasa!,” ungkap seorang petani yang bekerja sama dengan Sinasera 24, Cai Limu, yang dikenal dengan sebutan “kakek garam laut”, saat menggambarkan meja makan Suku Amis.
Namun, jika dibandingkan dengan pola makan Suku Penduduk Asli yang terkesan kasar dan primitif, maka masakan Nick Yang terasa sangat lezat, dengan tekstur yang halus dan menawan, ini adalah pencapaian puncak berikutnya.
Bagi Nick Yang, piring putih adalah kanvasnya, dan memasak adalah seninya. Sedangkan variasi alam raya dan berkah di antara pekarangan sawah adalah petunjuk baginya untuk berkarya.
“Setiap hari, ketika berjalan ke tempat kerja, saya menyaksikan ladang sawah yang menguning dan bunga rosela bermekaran. Saat tiba di pelabuhan, saya melihat ikan layur dan gulma laut yang melimpah. Di kala itu, saya tahu bahwa semesta tengah mengingatkan saya tentang bahan makanan yang harus saya manfaatkan.”
Inspirasi brilian seperti demikian jarang terjadi di era modern yang serba cepat ini, “Jika berada di perkotaan, toko buah yang berada di pinggir jalan akan mengingatkan saya perihal buah yang sedang panen di musim ini, tetapi buah-buahan yang diletakkan di etalase toko sepanjang tahun, setiap musimnya selalu sama.”
Nick Yang yang awalnya tidak berniat untuk memperkenalkan menu kuliner ala suku penduduk asli tersebut, kemudian menyertakan bahan-bahan lokal ke dalam sajian klasiknya, misal minyak zaitun yang biasa digunakan untuk roti celup, diganti menjadi minyak kamelia. Biji vanila yang wajib digunakan bersama dengan kue canelé, diganti dengan cangkang jahe (Alpinia Zerumbet).
Dia tidak segan-segan menggunakan bahan makanan yang memiliki aroma kuat, seperti Litsea Cubeba, Zanthoxylum Ailanthoides, Solanum Integrifolium dan Citrus Depressa. Dengan teknik perubahan yang berlapis-lapis dan pencampuran saus, Nick Yang menciptakan akses yang lebih mudah merekatkan meja makan dengan para tamunya.
Di musim dingin ini, Sinasera 24 meluncurkan sentuhan baru lainnya, yakni a 100% game meat prix-fixe menu. Terlepas dari seberapa populernya menu ini, Nick Yang menuturkan, melalui menu hidangan ini ia ingin memberikan penghormatan kepada budaya kuliner liar ala Prancis. Ini juga mengisyaratkan akan kebudayaan berburu di musim dingin dari Suku Amis.
Bahan-bahan makanan yang jarang Anda temukan, seperti daging kelinci, larva lebah, daging burung unta dan daging itik melewar, dipadukan dengan ragam lapisan rasa, menawarkan selera menawan dari pusaka alam yang tersimpan di pelosok pegunungan dan dasar laut pesisir timur Taiwan.
Hidangan mewah dan eksklusif dari restoran Sinasera 24, menciptakan dialog antara kebudayaan Prancis dengan Suku Amis.
Di tengah alam raya, para wisatawan dapat merasakan langsung bagaimana memanggang kacang dengan menggunakan api arang.