Pelopor Renovasi Dinamis 3 Jalur Wisata Kota Tua di Taipei
Penulis‧Yeh I-chun Foto‧Chin Hung-hao
April 2016
攤開台灣的歷史地圖,關於老城的時間刻度,從來不曾消逝。
都市裡的舊城老味,演繹常民生活文化,蘊含豐沛人文景緻,在新城市發展過程中,非但沒有被稀釋,反而散發出清香韻味,長出獨特迷人風貌。
世界各地旅人為此聞名而絡繹前來探索,他們發現,台灣原來是這麼有故事的地方,還有著一群喜歡說故事的人。
Dadaocheng yang bersebelahan dengan sungai Tamsui nan gemerlap, memiliki legenda masa keemasan Taipei. Ruang yang membaurkan pedagang dan masyarakat setempat, sarat akan vitalitas, idealisme, keterbukaan dan trendi, sehingga sempat menjadi simbol kemakmuran pulau Formosa di masa dulu
Bagai bangunan miring, kawasan ini menua dan memudar seiring berjalannya waktu. Namun sejak akhir dasawarsa abad ke 20, pemerintah dan masyarakat mengupayakan ragam pelestarian bangunan tua dan jalan, menghidupkan kembali dunia perindustrian dengan masuknya para pengusaha kreatif budaya. Bagai denyutan baru dalam nadi kota tua Taipei, berjajarlah toko berpenampilan baru dan lalu lalang wisatawan. Kawasan ini kembali mulai memperlihatkan energinya.
Namun apakah yang konvensional, inovasi dan hubungan antar sosial masyarakat, dapat menyatu dengan harmonis? Masalah yang tersembunyi dan tak terelakkan, kadang baru timbul di masa transisi. Apakah ini peluang berkomunikasi untuk mencapai mufakat? Ragam suara sumbang mungkin adalah pencerahan untuk membuka lembaran yang baru.
Tiga Pemukiman Awal Kota Tua
Menelusuri asal usul Taipei harus dimulai dengan sebutan “Jalanan di 3 kota”, yang merujuk kepada 3 pemukiman besar masa lalu, yang juga menjadi pola dasar pengembangan Taipei, antara lain Monga, Dadaocheng dan kota lama Taipei. Kawasan Monga yang berada di tepi sungai Tamshui, sempat masuk dalam nama sebutan kota pelabuhan besar yakni “1 Fucheng, 2 Lugang dan 3 Monga”. Adanya pendangkalan dermaga dan sikap anti asing yang terus bertambah, maka posisi penting sebagai kota pelabuhan kemudian beralih ke Dadaocheng.
Perkembangan Dadaocheng dimulai dari peristiwa tawuran “Ding E Kao Bia”, antar warga Dingxiao dengan pendatang baru warga Xiaxiao di Monga pada tahun 1853. Warga Xiaxiao yang kalah akhirnya pindah ke Dadaocheng, yang penduduknya lebih dapat menerima kedatangan warga asing. Kemudian berlanjut dengan keikutsertaan dalam program penataan resmi pemerintah dan masuknya investasi pihak Barat, Dadaocheng berhasil menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dan berkembang menjadi pelabuhan yang ramai, serta mendapat pujian “Semerbak Teh di Sepanjang Tahun”.
Pada masa Dinasti Qing, jalan pertama dengan bangunan ber-arsitektur Barat muncul di Dadaocheng. Instansi resmi pemerintah turut mulai menempati kawasan tersebut, antara lain “Sekolah berpola Barat” pertama, “Sekolah Telegram” pertama, stasiun kereta api pertama di Taiwan dengan “Loket penjualan tiket Dadaocheng”, “Biro Perlengkapan Tentara” untuk pembuatan senjata dan komponen kereta api, hingga berbagai kantor konsuler negara lain. Saat itu peran Dadaocheng dan kota lama Taipei, diibaratkan sebagai pusat perekonomian dan pusat pemerintahan. Di era kolonialisme Jepang, bisnis usaha daun teh, tekstil, obat tradisional Tiongkok dan sembako turut berkembang. Seiring bertambahnya jumlah pengusaha yang terkemuka dan sukses di Dadaocheng, mereka juga saling berlomba mendirikan bangunan yang indah, beradu nama dan keberadaannya. Di era kolonisasi, kota lama Taipei menjadi pusat administrasi, sementara Dadaocheng yang berada di luar kota ditempati oleh. Ini membiaskan konfrontasi luar dan dalam kota lama tersebut.
Pelopor “Xiaoyicheng” di Dadaocheng, Zhou Yi-cheng berpendapat, di era kolonialisme Jepang tahun 1920-an adalah masa kejayaan Dadaocheng. Di saat itulah Chiang Wei-shui mendirikan Asosiasi Budaya Taiwan, wadah untuk pemahaman budaya dan politik terkini. Lien Ya-tang, Hsie Xie-hung dan Chiang Wei-shui turut menggerai toko buku di Dadaocheng. Asosiasi Budaya, Partai Rakyat Taiwan (Taiwan People’s Party), dan Serikat Pekerja berjalan aktif. Dengan berpadunya para cendekiawan, bagai sinar terang dalam kehidupan, Dadaocheng menjadi pusat interaksi ideologi, lokalisasi dan inovasi usaha.
Atmosfir Baru Beranda Seni Xiaoyicheng
Pasca Perang Dunia ke 2, Pelabuhan Tamshui hancur porak poranda, pemandangan kejayaan Dadaocheng pun sirna seiring dengan perginya para penduduk. Bangunan megah bergaya Barat terkesan dipencilkan di jalanan yang suram. Hingga era tahun 1980-1990 baru mulai berkembang pendapat masyarakat dan sikap peduli lingkungan kota. Pemerintah kota mendorong program pelestarian rumah tua dengan bantuan tunjangan intensif kepada penduduk setempat. Penyelenggaraan acara “Belanja Sembako Imlek” dan regenarasi rumah tua, sempat memberikan angin segar. Namun kegiatan musiman tersebut hanya mampu menarik arus pengunjung jangka pendek dan menyebabkan masalah baru yakni kemacetan dan kekacauan. Selain sulit untuk mencapai popularitas jangka panjang, banyak pihak yang berpendapat mustahil untuk mengembalikan kejayaan Dadaocheng.
Tempat yang memiliki kisah, pasti menarik perhatian para pendongeng. Beberapa tahun terakhir ini, banyak orang yang merasakan perubahan di Dadaocheng. Perubahan tidak dalam sekejab namun telah terjadi. Mahasiswa S3 jurusan arsitek Universitas Tsinghua Beijing, Hsu Yi-hong yang mendesain “Peta Budaya Dadaocheng” mengatakan, “Dulu wisatawan dan anak muda tidak akan datang ke sini, selalu terlihat suram dan gelap.” Dia mengamati, sejak tahun 2011 para pengusaha inovatif seperti Xiaoyicheng mulai menempatkan diri dan menyegarkan kembali kawasan tersebut, diawali dengan satu rumah, jalan hingga sekitarnya. “Generasi muda yang dapat menikmati keindahan rumah tua sangat penting artinya, karena baru bisa menghargai kebudayaan tradisionalnya sendiri”, jelas Hsu Yi-hong.
Beranda Seni Xiaoyicheng akhirnya berlanjut dengan Minyicheng, Zhongyicheng, Xueyicheng, dan Lienyicheng, yang meliputi kedai teh, kopi, keramik, kain, kelontong, buku, buah-buahan, souvenir, dan teater kecil. Zhou Yicheng mengatakan, “Sejak awal saya menetapkan 5 kategori produk tradisional lokal yakni teh, kain, produk pertanian (obat tradisional Tiongkok dan sembako), opera (modern dan tradisional) dan konstruksi (pariwisata dan desain), yang semuanya telah ada di Dadaocheng sejak 150 tahun yang lalu.”
Keaktifan kawasan terlihat menakjubkan di jalanan tua, dengan padanan asri toko berinovasi baru dan industri tradisional, yang dipuji oleh khalayak umum karena mampu menarik kembali para pengusaha terkemuka dan generasi kedua yang bersedia melanjutkan kembali usaha sebelumnya. Seperti yang terlihat, banyak rotan, perabot toko yang tua dengan stimulasi dari pengusaha baru yang mengubah cahaya, dekorasi dan tata letak, akhirnya dapat mengundang banyak wisatawan, terutama wisatawan manca negara dari berbagai usia. Menurut pandangan mereka, semua ini adalah keunikan Taiwan yang sebenarnya.
Zhou Yi-cheng menekankan, nilai yang berharga dari Dadaocheng adalah masa, semangat dan atmosfir yang penuh spekulasi. Ia berharap kawasan yang sarat makna ini bisa menjadi perwakilan dalam membangun kembali lingkungan publik. Dengan sistem usaha mikro yang berkesinambungan, merangsang kreativitas budaya dan nilai-nilai umum. Teori ini mungkin terlalu tinggi, namun dengan telah berkumpulnya komunitas dan hasil kerja keras yang ada, aksi menjadi bukti nyata.
Regenerasi Perpaduan Budaya Selatan Kota
Terlepas dari Dadaocheng, mari kita bahas bagian selatan kota. Pada era kolonialisme Jepang, di bagian selatan Taipei ditata untuk perumahan bergaya Jepang, tepian sungai dan taman hijau. Tata kota kala itu, tak hanya memberikan kenyamanan bagi orang Jepang, tetapi juga menjadi alur pembangunan Taipei. Mayoritas penduduk di selatan kota adalah cendikiawan atau pegawai negeri. Paduan hidup dan budaya manusia, yang masih melekat dalam tekstur kota dan bangunan kuno, kerap membuat para pejalan kaki berhenti sejenak untuk menikmatinya.
Seperti “Khisu An” yang dulu adalah Ryotei (rumah makan tradisional Jepang), sekarang berubah menjadi “Hutan Literatur Taipei”, yang menjadi jantung warisan budaya selatan kota. “Qingtian 76” yang berlokasi di selatan kota Taipei, awalnya adalah rumah kediaman dari seorang mantan professor Taihohu Imperial University (sekarang adalah Universitas Nasional Taiwan-NTU), sekarang lebih sering menjadi pemandu bagi restaurant rumah tua ini. Sama halnya juga dengan jalan Jinghua yang ada di selatan kota. Dengan program “Budaya rumah tua” pemerintah kota Taipei, diharapkan dapat memperbaiki bangunan-bangunan ala Jepang, menyoroti regenerasi budaya agar semakin banyak orang dapat menikmati keindahan dari rumah tua.
Seperti perbaikan “Rumah Pohon Jinmiending” (nama sementara) yang dipimpin oleh Liu Kuo-chang, arsitek dari Opening-United Studio dengan hasil karya ternamanya “Blueprint Culture & Creative Park” di Tainan. Ia berharap dengan mengubah rumah pohon, kawasan jalan Jinghua dapat menjadi langkah awal yang menggerakkan seluruh aktivitas. Selama berjalan lancar dan terjaga, semua adalah aset budaya. Disain saat ini adalah menghidupkan kembali rupa wajah lama di era yang berbeda dengan pendekatan sugestif, sehingga semua dapat memahami ragam wujud Taiwan dalam yang berbeda.
Perbedaan mencolok dibandingkan dengan perbaikan bangunan bergaya Jepang lain adalah karena rumah pohon Jinmiending saat dalam pengawasan pemerintah kota, dibangun sebuah menara observasi yang berfungsi untuk menerawang lingkungan sekitarnya. Halaman luas dengan pohon lengkeng, terpadu dengan alami. Teknik tata desain tersebut berguna bagi masyarakat umum dalam memahami dan dekat dengan bangunan tua.
Dari Dadaocheng hingga ke selatan kota dapat diketahui, jika hal terkait manusia dan ruang bukanlah hal yang sederhana. Kecenderungan saat ini, tak lagi hanya menerobos kerangka lama, tetapi juga premis untuk menghormati sejarah, memperbaiki dan rekonstruksi tempat budaya, turut menggerakkan seluruh kawasan dan memfasilitasi hubungan antar manusia. Dengan tak lagi teori untuk sebuah rumah atau jalanan, melainkan dapat lintas kawasan secara keseluruhan, agar jaringan komunikasi sesama manusia dapat terjalin.
Hanya manusia yang dapat kembali menghidupkan rumah, mempertahankan jalanan, melanjuti catatan sejarah akan ragam jejak ruang di masa berbeda dan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Dengan menggunakan kebijaksaan para pendahulu, untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.