Membangun Kampung Halaman dengan Bambu:
Budaya dan Struktur Bambu Penduduk Asli Taiwan
Penulis‧Cindy Li Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Maidin Hindrawan
Desember 2024
Berbicara tentang “pengunaan bambu”, baik untuk keperluan sandang, pangan, papan, maupun transportasi, penduduk asli Taiwan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan bambu. Khususnya dalam bidang arsitektur, yang terkandung tidak hanya kearifan hidup masyarakat adat yang terakumulasi selama ratusan tahun, namun juga semangat dan budaya kebangsaan.
Disebut sebagai “ttakuban”, rumah pertemuan untuk kaum muda yang terletak di ladang rumput Taman Warisan Beinan, menghadap ke ladang tempat anggota suku Puyuma bercocok tanam di masa lalu. Sama khidmat dan khusyuknya dengan para tetua suku, ttakuban menceritakan kepada dunia tentang masa gemilang suku Puyuma di Hualien dan Taitung.
“Ttakuban adalah bangunan komunal sekaligus sekolah bagi para lelaki muda. Kami semua belajar di sana saat tumbuh dewasa.” Ahung Masikadd, seorang tetua suku Puyuma, berdiri di depan bangunan bergaya rumah panggung tersebut, menceritakan tentang makna istimewa bangunan bambu murni yang dibangun bersama para pemuda suku beberapa tahun lalu.
Akar Kekuatan Puyuma
Suku Puyuma telah lama menjadi suku yang kuat dan makmur. Pada zaman kejayaan Raja Puyuma, pengaruh mereka mencapai Yuli, Hualien di utara dan Hengchun, Pingtung di selatan. Penelitian menunjukkan bahwa hierarki sosial yang ketat dalam suku Puyuma adalah kunci kemakmuran mereka; dan etika hierarki ini dibangun melalui sistem pendidikan ttakuban.
Ahung Masikadd menceritakan anak laki-laki berusia 12 - 13 tahun akan membangun ttakuban dari bambu Makino (Phyllostachys makinoi) dan bambu berduri (Bambusa spinosa) di bawah bimbingan para tetua. Mereka kemudian tinggal di sana selama empat hingga lima tahun berikutnya dan belajar dari saudara laki-laki lebih tua yang memasuki ttakuban lebih awal tentang cara berinteraksi dengan orang lain, aturan dan adat istiadat, hierarki sosial, dan keterampilan bertarung.
“Orang luar sering menganggap apa yang kami pelajari itu aneh atau bahkan tidak masuk akal,” katanya. Namun, Ahung Masikadd percaya bahwa “pelatihan” ini merupakan bagian penting dari proses mentransformasi seorang anak laki-laki Puyuma menjadi orang dewasa.
Sebelum meninggalkan ttakuban, para pemuda akan menjalani ritual latihan intensif penting yang disebut sebagai “mangamangayau”, biasanya diadakan pada akhir Desember.
Pada malam menjelang ritual ini, para pemuda akan pergi dari rumah ke rumah sambil memegang daun pisang jepang (Musa basjoo) dan berteriak, “Abakayta! Abakayta!” (yang berarti “Isilah kantungku!”) untuk mengusir roh jahat. Pada hari berikutnya, para anak laki-laki akan menggunakan tombak panjang dengan gambar totem suku untuk menusuk monyet yang telah menemani mereka selama enam bulan sebelumnya dan dianggap sebagai teman (ali), dengan harapan mereka akan menunjukkan tekad yang sama saat melindungi rumah dan tanah air di medan perang.
Ahung Masikadd menekankan, “Sebelum mangamangayau diselenggarakan, berbagai upacara lain yang menyusul tidak boleh dilaksanakan.” Misalnya, mangayaw, yaitu perburuan dan patroli selama tiga hingga lima hari di wilayah desa yang melibatkan semua laki-laki di komunitas; dan upacara yang diadakan setelah mereka kembali di mana para pemuda “membuka pintu” bagi keluarga yang sedang berduka pada tahun itu.
Tidak sulit dimengerti mengapa Ahung Masikadd dengan khidmat mengatakan, “Ttakuban adalah fondasi untuk melatih prajurit, tiang penyangga negara kita, dan tempat bersemayam roh Puyuma.”
Ahung Masikadd dan putranya Benglay Masikadd membangun struktur bambu di Sekolah Dasar Percobaan Karangan Bunga Nanwang Puyuma di Kabupaten Taitung.
Metode pembengkokan bambu
Diperagakan oleh Ahung Masikadd
Struktur Bambu, Arsitektur, Budaya
Ditilik dari segi arsitektural, arsitek Lin Ya-yin berpendapat bahwa ttakuban suku Puyuma memiliki sejumlah fitur struktural yang lebih unik dibandingkan dengan struktur bambu lainnya di Taiwan, antara lain “libattubattu” yakni struktur inti penahan beban yang terletak di tengah dasar bangunan, dan “panubayun” yakni kolom penopang miring yang memancar ke delapan arah dari tanah ke balok atap.
Lin menjelaskan, arsitektur mencerminkan filosofi spiritual suatu kelompok etnis. Kolom penopang diagonal besar yang menyatu dari semua sisi ke satu titik memberikan stabilitas struktural. Inilah mengapa namanya dipinjam dari kata Puyuma “panubayun” yang berarti “kesatuan”.
Selain itu, Lin Yayin menambahkan, “Ttakuban adalah struktur ringan, tahan gempa tetapi tidak tahan angin.” Namun, “libattubattu” berbentuk corong yang diisi dengan batu di tengah lantai dasar telah memberatkan struktur dan merendahkan pusat gravitasi sehingga bangunan menjadi lebih stabil. Pakar lokal menganalisis, struktur “libattubattu” mirip dengan peredam massa yang disetel pada bangunan landmark Taipei 101, membuat mereka kagum: “Penduduk asli Taiwan terlahir sebagai ilmuwan!”
Dengan struktur seperti itu, sungguh menakjubkan bahwa bangunan bambu yang tampak tipis itu masih bisa kokoh seperti gunung dalam menghadapi hembusan angin kencang level 17 dari Taifun Nepartak pada tahun 2016. Lin Yayin tertawa, “Itu karena nenek moyang kita lebih memahami bahan-bahan alam daripada kita.”
Dia menyesalkan bahwa ketika beton bertulang menjadi arus utama konstruksi, orang-orang secara bertahap kehilangan pengetahuan tentang bahan bangunan alami, yang juga menyebabkan celah besar dalam warisan arsitektur tradisional Taiwan. Lin mengeluh, “Karena kita adalah orang Taiwan, maka kita harus mempelajari kebijaksanaan, budaya dan keterampilan arsitektur tradisional Taiwan.”
Namun, metode konstruksi tradisional sebagian besar diwariskan dari guru ke murid, dan jarang ada catatan tertulis. Desain dan metode konstruksi juga cenderung bervariasi berdasarkan pemahaman pembangun. “Saya belajar dengan beberapa arsitek tua selama lebih dari 20 tahun. Dalam kurun waktu ini, mereka meninggal satu per satu, dan setelah mereka pergi, semua pengetahuan yang terkumpul dari generasi ke generasi pun dibawa bersama mereka.”
Oleh karena itu, Lin Ya-yin dan Ahung Masikadd bekerja sama membuka kursus dalam program konstruksi bambu di Yayasan Pendidikan Lizen, berharap dapat mengajari siswa dari semua lapisan masyarakat metode pembangunan ttakuban secara sistematis, dan juga mulai mencatatnya dalam tulisan.
Dalam bukunya “Ttakuban Puyuma: Struktur Bambu Tradisional di Desa Puyuma Taiwan” yang belum diterbitkan, Ahung Masikadd menceritakan sejarah, makna budaya, keunikan dan proses pembangunan ttakuban, mendeskripsikannya secara rinci dan mengilustrasikannya dengan foto-foto.
Lin Ya-yin berkata, “Jika saya tidak mencatatnya dalam tulisan, saat generasi ini pergi, pengetahuan ini juga akan ikut hilang.”
Ttakuban dan totem suku hitam-putih di atap gedung sekolah merupakan hasil upaya Ahung Masikadd untuk merevitalisasi budaya Desa Puyuma setelah kembali ke kampung halamannya.
Saat mengajarkan konstruksi ttakuban, Lin Ya-yin meminta siswa menggunakan nama dan istilah penduduk asli. (Foto: Yang Xiao-hong dan Cai Zhuo-lin, disediakan oleh Yayasan Pendidikan Lizen)
Ahung Masikadd yang tidak pernah mempelajari lukisan arsitektur, mencoba mengajarkan metode struktur bambu dengan menggunakan ilustrasi sederhana.
Lin Ya-yin dan Ahung Masikadd mengajar kursus struktur bambu Puyuma di Yayasan Pendidikan Lizen, menarik banyak siswa untuk berpartisipasi. (Foto: Wu Jiayou, disediakan oleh Yayasan Pendidikan Lizen)
Divergensi Gradual dengan Bambu
“Bagi masyarakat Atayal, bambu merupakan bahan bangunan yang mudah ditemukan di lingkungan mereka,” kata Shan Shih-hsuan, asisten profesor di Departemen Arsitektur Universitas Ming Chuan, saat berbicara tentang masyarakat Atayal yang budayanya juga terkait erat dengan bambu.
Lingkungan geografis dan iklim Taiwan yang unik memungkinkan bambu bisa ditemukan dari dataran hingga pegunungan, menjadikan bambu sebagai bahan yang mudah diperoleh bagi penduduk Taiwan. Dalam budaya tradisional Atayal, menenun “ruma” (bambu Makino) dianggap sebagai keterampilan yang harus dipelajari laki-laki, perempuan tidak diperbolehkan mempelajarinya; sementara peralatan makan bambu, penyangga dalam pertanian, dan rak tiram budidaya yang digunakan di dalam negeri, serta pedang bambu yang diekspor ke Jepang, semuanya terkait erat dengan industri bambu Makino Atayal.
Namun seiring berjalannya waktu, hubungan antara bambu dan budaya penduduk asli, termasuk budaya Atayal, secara bertahap menjadi renggang. “Saat ini, tak peduli bangunan suku mana pun, semuanya terlihat persis bangunan di dataran.” Shan Shih-hsuan menyesalkan bahwa homogenisasi kota dan daerah pedesaan telah menyebabkan bangunan beton bertulang menjadi lanskap Taiwan, dan penduduk asli telah kehilangan DNA budaya mereka, sama halnya dengan kemunduran industri bambu dalam beberapa tahun terakhir.
Mengikuti jejak mantan presiden Taishin Financial Holdings, Lin Keh-hsiao dalam mengeksplorasi sejarah masyarakat Atayal, Shan membuka “Kursus Arsitektur di Pegunungan” di Universitas Ming Chuan, membawa siswanya ke desa-desa Atayal di Taiwan utara, berharap dapat membantu memulihkan budaya yang hilang.
Dari galeri budaya Jalur Berburu Atayal di Desa Nan'ao, Yilan tahun 2011; pusat konservasi dan pameran burung pegar Swinhoe (Lophura swinhoii) di Desa Piyaway, Distrik Fuxing, Taoyuan tahun 2013; rencana pembangunan Bengkel Melihang di Desa Mepuwal di tepi Sungai Da'an, Miaoli tahun 2017; ruang baca di Sekolah Dasar Kuihui, Taoyuan tahun 2019; sampai pada Program Kreasi Bersama Struktur Bambu di Desa Qapu, Taoyuan tahun 2020; semuanya menggunakan bambu Makino yang dikenal masyarakat Atayal sebagai bahan untuk struktur bambu.
Berawal dari rumah yang melambangkan “keluarga”, Ahung Masikadd perlahan menghidupkan kembali budaya Puyuma di kampung halamannya.
Penyangga bambu pada bagian bawah ttakuban selain memberikan landasan bangunan yang stabil, juga memiliki fungsi pertahanan. (Foto: Yang Xiao-hong dan Cai Zhuo-lin, disediakan oleh Yayasan Pendidikan Lizen)
Menghidupkan Kembali Kampung Halaman
“Konsep kami adalah untuk memfasilitasi lokalisme dan otonomi melalui kerja sama dengan semua desa dalam desain bangunan dan pembangunan komunitas.” Shan Shih-hsuan menekankan bahwa apa pun proyeknya, baik alun-alun kecil, jalan, maupun lukisan pada pintu masuk, dia dan murid-muridnya selalu berharap bahwa arsistektur dapat menciptakan peluang untuk menghidupkan kembali budaya mereka.
Hal ini juga kaya akan makna pendidikan yang mendalam bagi siswa yang berpartisipasi. Shan Shih-hsuan memaparkan bahwa di desa-desa penduduk asli tersebut, para siswa akan mempelajari budaya dan mendengar cerita dari para tetua, secara pribadi menjelajahi hutan dan menebang bambu, dan mempelajari waktu terbaik untuk menebang bambu. “Lingkungan ini memberikan pencerahan fisik dan mental bagi mereka, dan mendorong para siswa masa kini, yang biasanya tidak pernah lepas dari ponsel, untuk mulai berdialog dengan masyarakat desa.”
“Ruang” memperoleh makna dan menjadi “rumah” melalui kehidupan, ritual, kepercayaan, dan atribut budaya lain dari penghuninya. Shan Shih-hsuan berkata, “Apa yang kami lakukan adalah mengembalikan ruang kepada anggota suku, sehingga ketika kembali ke desa, mereka dapat merasakan kedamaian dan terhubung dengan budaya mereka di sini.” Struktur bambu pada saat ini bukan hanya sekadar bangunan, melainkan kampung halaman dan inti budaya penduduk asli selama berabad-abad.