Camilan Taiwan Tempo Dulu
Menjelajahi Cita Rasa Masa Lampau
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Maidin Hindrawan
Agustus 2024
Berkat globalisasi, orang zaman sekarang memiliki beragam pilihan camilan dan manisan yang berasal dari seluruh dunia. Tapi apakah Anda penasaran, bagaimana rupa camilan dan manisan dengan situasi persedian barang yang masih langka di zaman dulu? Seperti apa rasanya? Dan bagaimana evolusinya?
Kita sering mendengar kata gao dan bing, keduanya mengacu pada kue dan pia. Kalau diperhatikan baik-baik maka perbedaannya adalah “bing” terbuat dari tepung terigu, sedangkan“gao” adalah pengan an yang terbuat dari tepung beras. Jenis kudapan Taiwan lainnya termasuk su (kue repih), lao (kue beras) dan yi (permen).
Seorang pakar budaya kuliner Taiwan, Chen Yu-chen mencatat dalam sebuah artikel berjudul “Pia ala Tiongkok, Makanan Manis Taiwan, dan Roti: Terbentuknya Industri Roti dan Transformasi Budaya Konsumsi di Taiwan pada Zaman Kolonial Jepang” menjelaskan asal mula kue-kue dan kudapan ala Taiwan berkaitan erat dengan kegiatan tradisional ritual persembahan, acara pernikahan, termasuk makanan yang berperan untuk “kegiatan non rutin”. Setelah berakhirnya era pendudukan Jepang, industri roti mulai terbentuk, mendesak toko kue ala Taiwan untuk bertransformasi dan pada akhirnya memengaruhi aktivitas hidup konsumen. Terjadi pergeseran makna simbolis budaya kue seiring dengan semakin banyaknya kue yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, waktu luang dan rekreasi, sehingga membuat makanan ringan lebih mudah diperoleh masyarakat awam.
Dalam wawancara kali ini, kami juga menemukan jejak perkembangan kue-kue dan kudapan ala Taiwan yang perlahan-lahan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Lao (粩) adalah homofon dari lao (老) yang berarti “usia tua”, maka dianggap melambangkan umur panjang. Saat memuja penguasa surga yakni Kaisar Giok pada hari ulang tahunnya pada hari kesembilan Tahun Baru Imlek, orang-orang tua sering berkata, “Berikanlah persembahan malao (kue beras wijen) dan kamu akan memakannya hingga hari tua.” (Foto: Jimmy Lin)
Simbol Usia Panjang: “Lao”
Lao adalah kudapan manis Taiwan sejak tempo dulu yang tercatat dalam Qianjin Pu (bacaan instruksional anak-anak yang ditulis antara tahun 1842 dan 1852). Lao juga merupakan sesajenan yang wajib dipersembahkan untuk memuja penguasa surga yakni Kaisar Giok di hari ulang tahunnya pada hari ke-sembilan tahun baru imlek.
Lao (粩) adalah homofon dari lao (老) yang berarti “usia tua”, maka dianggap melambangkan umur panjang. Orang-orang tua sering berkata, “Sesajenan malao (kue beras wijen) maka dapat makan hingga hari tua (memiliki arti panjang umur)”. Lao juga sering menjadi buah tangan pada pesta pernikahan, atau saat mempelai wanita mengunjungi orang tuanya setelah menikah, mengadopsi untaian kata-kata ucapan “Bai Tou Xie Lao” yang artinya adalah hidup bersama sampai tua.
Wu Can-zhong, generasi kelima penerus toko roti Hsin Fu Jean, menjelaskan bahwa bahan utama dalam lao adalah “kue beras” yang terbuat dari beras ketan dan talas goutiyu (secara harafiah berarti “talas kaki anjing” karena bentuknya). Kue beras ini pertama-tama digoreng dengan minyak hingga bagian tengahnya mengembung dan berbentuk panjang seperti beligo, kemudian dicelupkan ke dalam sirup gula maltose, terakhir dibalur biji wijen, menutupi bagian luarnya disebut “malao”, sedangkan yang dibalur dengan butiran beras disebut “milao”, dan dengan butiran kacang tanah disebut “huashenglao”.
Sementara sirup maltosa yang direbus dalam panci besar masih berwarna terang, ahli pembuat roti tua berdiri dan menyendok sebagian sirup menggunakan sebuah dayung kayu besar. Dia membiarkannya menetes ke dalam semangkuk air yang dipegang dengan tangannya yang lain, lantas memasukkan tangannya ke dalam air untuk merasakan seberapa keras atau lembutnya maltosa tersebut. “Masih belum siap. Sirupnya harus direbus setidaknya selama satu setengah jam,” tuturnya.
“Dalam proses pembuatannya, memasak gula maltosa adalah langkah terpenting, dan pembuat rotilah yang mengontrol suhunya.” Wu Can-zhong menerangkan, kunci kelezatan ini terletak pada ketebalan lapisan gulanya. Saat digigit, teksturnya akan renyah dan lengket, sehingga memberikan rasa yang unik dan menarik di mulut.
Seorang pembuat roti tua mengecek suhu gula maltosa yang sedang dimasak. Mempersiapkan sirup adalah langkah terpenting dalam membuat kue lao. (Foto: Jimmy Lin)
Bahan Sesajenan yang Mengisi Perut: Gaozai
Len Jen Bakery adalah toko yang sudah lama berdiri di kawasan Jalan Tua Miaokou sekitar Kuil Dianji Keelung.
Berbicara tentang kue atau gaozai, pemilik generasi ketiga Cheng Yi-da mengutarakan, “Di masa lalu, gaozai lebih umum. Bing berukuran besar digunakan untuk ritual dan pernikahan, sedangkan gaozai adalah camilan yang bisa dijual kapan saja sepanjang tahun. Bahan pembuatan gaozai juga lebih mudah didapat dan pembuatannya pun tidak sulit.”
Memasuki Len Jen Bakery, kami melihat pembuat roti sedang membuat sufanggao (kue berbentuk kubus yang dibuat dengan berbagai rasa). “Sebagian besar produk kami masih dibuat dengan tangan,” kata Chen Chia-hsu, penerus generasi keempat toko roti tersebut. Bahan-bahan untuk membuat gaozai antara lain tepung ketan, gula dan isian. Usai digoreng, tepung ketan akan diayak dan dicampur rata dengan gula. Sufanggao terbentuk dari tiga lapisan, sehingga bahan-bahannya dipisahkan menjadi tiga wadah. Pembuat roti terlebih dahulu menyebarkan lapisan bawah ke dalam cetakan persegi panjang dan kemudian menggunakan perkakas untuk menyebarkannya secara merata. “Keterampilan pembuat roti dalam menyebarkan lapisan sangat penting, lapisannya harus rata. Kami pernah mencoba menggunakan mesin untuk langkah ini, tetapi kekuatannya terlalu besar sehingga kue menjadi terlalu padat, rasa di mulut tidak enak, dan tidak ada tekstur rapuh.” Lapisan kedua dan ketiga kemudian disebarkan di atasnya, lalu didiamkan selama sekitar sepuluh jam. “Tujuan mendiamkan kue adalah agar kue menyerap kelembapan, sehingga gula di dalamnya dapat berfungsi.”
“Saat membuat gao yang terpenting adalah “gula”, kami masih menggunakan gula fermentasi. Gula akan digiling menjadi bubuk, ditambahkan ragi dan difermentasi hingga menjadi gula putih lengket. Dengan demikian campuran tepung berbentuk bubuk baru bisa lengket bersama gula,” jelas Cheng Yi-da. Gula tidak hanya menambah rasa manis, tetapi juga berperan mengatur bentuk, sedangkan untuk kue gaozairun yang dibuat untuk Festival Hantu, akan ditambahkan proses dikukus agar teksturnya lebih kenyal.
Festival Hantu adalah festival penting di Keelung, dan gaozai adalah media penting untuk berkomunikasi dengan “saudara baik” (hantu lapar) yang berkeliaran. Dalam tradisi, membuat gaozhan (menara kue) selain melambangkan harapan kemajuan, terdengar bahwa semakin tinggi sesajenan maka semakin terlihat oleh “saudara baik” dari kejauhan. Ditambah lagi dengan penjelasan dari Chen Chia-hsu, “Di masa lalu, ketika kapal berlayar dari Keelung, mereka akan membawa gaozai sebagai makanan kering karena dapat disimpan lebih lama dibandingkan makanan lain dan juga efektif untuk mengisi perut.” Apa yang diungkapkannya ini melambangkan hubungan geografis erat antara gaozai dan Keelung.
Ketika ditanya seperti apa toko roti di masa lalu, Cheng Yi-da menceritakan, toko roti tradisional membuat produk yang diperlukan untuk upacara keagamaan sesuai dengan waktu dalam setahun, sehingga permintaannya sangat musiman, dan perbedaan antara waktu sibuk dan senggang sangat besar. Beberapa pembuat roti mengambil pekerjaan lain dan hanya kembali ke toko pada saat Festival Hantu. “Pada masa lalu, tidak ada fleksibilitas dalam waktu produksi dan semuanya bergantung pada setiap orang yang terlibat.” Tapi sekarang segalanya berbeda. “Saat ini bisnis dijalankan sebagai perusahaan, pekerjaan dijadwalkan sesuai dengan proses, dan daftar shift semuanya diatur sebulan sebelumnya.” Dari uraian Cheng, kita dapat melihat bagaimana operasi toko roti tradisional perlahan-lahan mulai beralih, dari yang hanya terikat pada festival tradisional menjadi lebih berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Bahan utama dalam lao adalah “kue beras” yang digoreng dengan minyak hingga bagian tengahnya mengembung dan berbentuk panjang seperti beligo di latar belakang foto.
Len Jen Bakery yang berusia seabad terus dijalankan oleh generasi-generasi keluarga pendirinya. Dalam foto adalah Cheng Yi-da dari generasi ketiga, dan keponakannya Chen Chia-hsu yang mewakili generasi keempat.
Gaozai digunakan dalam ritual keagamaan, juga dapat mengisi perut adalah camilan, juga sesajen. Dalam foto adalah produk utama Len Jen Bakery -- gao berbentuk oktagon.
Kue Elegan Kaum Elit: Fengyangao
Fengyangao dibuat dari beras berkualitas paling tinggi yang dimasak terlebih dahulu lalu digiling menjadi tepung, bersama dengan gula putih yang difermentasi. Dulu gula dikubur di dalam tanah selama beberapa bulan, tetapi yang digunakan saat ini adalah peralatan fermentasi modern. Huang Ching-ching, pemilik generasi keenam dari jaringan toko roti Yu Jen Jai, mengatakan, “Aromanya hanya akan muncul setelah fermentasi. Suhu fermentasi sangat penting, waktunya juga krusial.”
Nenek moyang keluarga Huang berasal dari Quanzhou di Provinsi Fujian, Tiongkok, dan memulai bisnis dengan menjual bahan pokok rumah tangga seperti beras dan kain. Kepala keluarga adalah pencinta berat puisi dan sering mengundang sahabat elit ke perpustakaan keluarga untuk membacakan ayat-ayat syair, dan pada saat ini tuan rumah akan menyajikan fengyangao yang dibuat sesuai dengan tradisi keluarga sebagai makanan ringan pendamping teh. Huang Ching-ching mengenang, “Pada masa itu sudah ada layanan yang disesuaikan.” Seorang spesialis akan mengeluarkan tepung beras dan gula, menanyakan tingkat kemanisan yang disukai setiap tamu, dan kemudian langsung membuat fengyangao di atas meja.
Huang Ching-ching mendemonstrasikan cara membuat fengyangao. Pertama-tama dia mengambil tepung beras dan gula dalam jumlah yang sama, mencampurkannya hingga merata, dan mengayak campuran tersebut dengan saringan. Kemudian ia menguleni adonan dengan jari-jarinya, memasukkannya ke dalam cetakan kayu, kembali memakai jari-jarinya untuk menekan agar lebih kencang, dan terakhir mengeluarkannya dari cetakan.
Sepotong kecil fengyangao, Huang Ching-ching menggambarkan, saat memakan fengyangao, awalnya ada rasa manis yang ringan dan menyegarkan, kemudian rasa manis yang lebih kental akan muncul, dan akhirnya akan tercium rasa nasi yang harum. Pengalaman ini membuat kita mengetahui tentang cita rasa bahan-bahan lokal Taiwan yang berharga, dan merupakan mikrokosmos sejarah Lukang.
Fengyangao adalah kue elegan yang sangat disukai oleh kaum elit di masa lalu. (Foto: Jimmy Lin)
Toko roti Yu Jen Jai menawarkan kelas DIY dengan harapan dapat mendidik lebih banyak orang tentang budaya fengyangao. (Foto: Jimmy Lin)
Permen Kuno Taiwan: Xingang Yi
Sejarah Kuil Fengtian di Xingang, Chiayi yang didedikasikan untuk menyembah Dewi Mazu dari Meizhou telah melampaui 400 tahun. Toko Ching Chang Li di sebelahnya yang mengkhususkan diri dalam pembuatan permen kuno Taiwan, juga telah berusia 133 tahun.
Pemilik toko generasi keempat Lu Yang Hsiu-mei menyebutkan bahwa pendiri Ching Chang Li, Lu Qi-tou, berasal dari Minxiong di Chiayi, dan di masa lalu dia adalah seorang pedagang kecil yang menjual gula maltosa, kacang tanah, dan cubing (sejenis kue kental yang dibuat hanya dengan tepung dan gula). Suatu kali ketika terjebak di dalam rumah selama beberapa hari karena hujan yang tak henti-hentinya, Lu melihat bahan-bahan di sekitarnya dan mendapat inspirasi. Dia mengambil kacang tanah yang sudah lembap, merebusnya dalam gula maltosa dan membentuk adonan tersebut menjadi potongan-potongan kecil dengan kepala kecil dan ekor runcing yang tampak seperti tikus, maka dia menyebut suguhan barunya “permen tikus”. Lu Qi-tou kemudian menjual produk barunya di depan Kuil Fengtian. “Namanya baru dan menarik, dan orang-orang yang datang ke kuil untuk beribadah akan membeli manisan sebagai persembahan, dan juga sebagai cendera mata.” Setelah mendapatkan cukup banyak uang, Lu Qi-tou pun menetap di Xingang.
Permen tikus sangat digemari, tetapi namanya kurang elegan, awalnya diubah menjadi “shuangrenrun” yang berasal dari dua biji (shuang ren) di dalam setiap kacang. Setelah itu, permen ini diberikan kepada Kaisar Jepang sebagai hadiah, dan disukainya serta mendapatkan sebuah nama lain -- Xingang yi (yi berarti “permen”).
Pemilik toko kemudian membawa kami ke bagian belakang toko, ke tempat mereka membuat Xingang yi. Ia menjelaskan, bahan untuk membuat Xingang yi sangat sederhana, yaitu gula maltosa, kacang tanah, tepung terigu dan tepung beras. Adonan tepung akan dibuat pada malam sebelumnya dan didiamkan semalaman; sementara kacang tanah yang digunakan adalah hasil tani lokal Yunlin yang padat dan berisi.
Mereka mulai memasak kacang dalam gula maltosa pada pukul 6 pagi, lalu mencampurkan adonan dan merebus campuran tersebut selama lebih dari satu jam. Lu Yang Hsiu-mei, yang sejak dulu adalah pengontrol api di dapur, menggunakan sebatang bambu untuk mengambil sedikit gula maltosa dan meremasnya dengan jari-jarinya untuk menguji kekenyalannya. Ini adalah teknik yang dipelajari dari ibu mertuanya, dan diharapkan bisa diteruskan oleh putranya di masa depan.
Xingang yi adalah bagian dari kenangan bagi banyak orang yang meninggalkan kampung halaman. Lu Yang Hsiu-mei berbagi, ada seorang anak yang sedang ziarah bersama ayahnya khusus kembali ke Xingang meski mobil mereka sudah tiba di Xiluo, hanya untuk menikmati kembali cita rasa saat menjalankan wajib militer. “Maka saya pun selalu berkata, yang kami jual adalah sebuah memori dan sebuah kenangan,” tuturnya. Pada saat ini ada tiga wanita lanjut usia dari desa tetangga Bantou memasuki toko. Salah satunya berkata, “Saya sudah makan permen ini sejak saya bisa berjalan.” Dia memiliki tiga saudara perempuan yang sudah menikah dan tinggal di berbagai tempat berbeda di Taiwan, tetapi ketika pulang ke rumah untuk Tahun Baru Imlek, mereka selalu datang ke tempat awal kenangan cita rasa ini dan membeli beberapa kantong untuk dibawa pulang.
“Memiliki aroma tepung beras dan kacang tanah serta manisnya gula maltosa, dan memiliki tekstur kenyal yang unik. Itulah Xingang yi.” Cita rasa kuno dan sederhana ini sekarang bertambah satu rasa lagi yakni ketekunan.
Setelah merebus sirup maltosa dengan kacang tanah, adonan akan ditaburi tepung beras dan dibentuk dengan tangan menjadi potongan panjang.
Xingang yi adalah permen Taiwan dengan nuansa kuno.