Platform Media Imigran Baru Pegiat Kolaborasi Media Multinasional, Tony Thamsir
Penulis‧Kuo Yu-ping Foto‧Jimmy Lin
Oktober 2018
在這個知識爆炸的時代,周遭的資訊在在都追求即時性,新聞媒體更是走在「即時」的尖端。但是,在台灣有近85萬名東南亞新移民移工因為語言障礙,不易得知台灣及國際的即時資訊,現為公視印尼語新聞主播的印尼華裔譚雲福,2003年經歷全球聞之色變的SARS事件,看見在台的東南亞人士因資訊不足而惶惶不安,甚至染病致死的情形,隨即立定投身媒體圈的志向。
Di era ledakan informasi pengetahuan, di sekitar kita akan dipenuhi dengan liputan-liputan terbaru, khususnya media berita yang selalu berada di garis terdepan memberitakan informasi teraktual. Akan tetapi, di Taiwan terdapat sekitar 850.000 pekerja imigran dari Asia Tenggara yang mengalami kendala berbahasa, sulit mendapatkan berita aktual Taiwan maupun internasional, sosok jurnalis dari Public Television Service (PTS), Tony Thamsir adalah seorang warga Indonesia yang turut menghadapi epidemi SARS yang menguncang dunia pada tahun 2003, menyaksikan kepanikan warga asal Asia Tenggara di Taiwan karena keterbatasan informasi, bahkan ada pekerja migran asing yang terjangkit penyakit SARS dan meninggal dunia, semua kejadian ini membuat dirinya membulatkan tekad untuk terjun dan berkarya dalam dunia jurnalistik.
Duka Bencana Nasional Menjadi Kekuatan Membantu Sesama
Tony Thamsir datang ke Taiwan pada usia 18 tahun bertepatan dengan masa saat kota Taipei sedang membangun Mass Rapid Transit (MRT), dalam pandangan matanya laksana ungkapan prolog novel bertajuk A Tale of Two Cities, karya dari Charles John Huffam Dickens yang berbunyi, “Ini adalah era yang terbaik, juga merupakan era terburuk”.
Proses kemajuan suatu kota yang membuat lingkungannya menjadi kacau, sempat membuat Tony Thamsir bermaksud kembali ke kampung halaman, sepertinya lebih baik di Indonesia yang damai nan sentosa; “Melanjutkan studi di Taiwan” bukanlah cita-cita yang diimpikan olehnya saat duduk di bangku SMA. Semula ia telah mengikuti ujian TOEFL dan mempersiapkan segalanya untuk melanjutkan studi ke Amerika atau Australia, namun demi mematuhi apa yang disampaikan oleh ibunya, “Hanya ada dua pilihan, pertama belajar di Taiwan, kedua memilih universitas apa saja dan kuliah di Indonesia.” Sikap tegas dari ibu, menuntut agar Tony Thamsir melanjutkan studi di Taiwan, merubah semua kehidupannya.
Menerima saran dari orang tuanya, Tony pun berangkat ke Taiwan untuk belajar Bahasa Mandarin, akan tetapi pada tahun pertama saat belajar di National University Preparatory School (NUPS), nilainya buruk sekali. Saat ia menyempatkan diri pulang ke Indonesia dan kembali memikirkan masa depannya, naluri Tony berkata, “Tidak, saya harus kembali ke Taiwan, saya tidak akan menyerah begitu saja!” Setelah satu tahun belajar dengan giat, nilainya meningkat drastis, bahkan ia menjadi murid NUPS pertama yang berhasil lulus dan diterima di Universitas Nasional Chengchi (NCCU).
Namun, masa di kampus merupakan kenangan yang ingin dilupakannya. Bulan Mei 1998, ketika menerima telepon dari ibu di Indonesia, sang ibu kembali berpesan, “Sebaiknya kamu pulang dan memilih universitas apa saja dan kuliah di Indonesia! Jika tidak maka….”, membuat Tony semakin kebingungan, kemudian telepon dijawab adiknya dan memberitahukan, “Sekarang tidak perlu banyak berbicara, sekarang ini saya sedang menjaga satu-satunya jembatan penghubung jalan di depan rumah kita.”
Ternyata, rumah keluarga Tony di Jakarta juga terkena dampak dari kerusuhan Sinophobia (anti-Tionghoa). “Kebetulan di depan rumah kami ada sungai, warga setempat turun tangan menjaga jembatan besar agar tindakan kerusuhan tidak memasuki area ini, sementara area di bagian ujung jembatan seberang telah hangus terbakar oleh amukan massa.” Dengan sedikit bercampur emosi, Tony mendeskripsikan perubahan drastis yang dialami oleh keluarganya. Pabrik yang dirintis oleh ayahnya di area Daan Mogot dilalap api. Dan hanya selang satu malam saja, ayah menyatakan pailit. Usai insiden tersebut, Tony hanya dapat mengandalkan diri sendiri untuk meneruskan keberlangsungan hidupnya di Taiwan.
Meskipun mengalami insiden Sinophobia, tidak membuat Tony membenci orang Indonesia, ia mengatakan, “Saya akan membangun hubungan baik, saya berniat memperbaiki hal yang belum pernah dilakukan oleh orang Tionghoa pada masa sebelumnya.”
Berprofesi sebagai jurnalis di Taiwan, ia kerap kali berinteraksi dengan pekerja migran asal Indonesia secara jangka panjang, di satu sisi membantu mereka memperoleh informasi aktual, di sisi lainnya menghilangkan celah pemisah masyarakat Tionghoa-Indonesia serta memperbaiki hubungan orang Indonesia dan Tionghoa.
Peluang Integrasi Dunia Jurnalistik
Merujuk pada data dari Kementerian Dalam Negeri (MOI), warga imigran baru yang berasal dari Asia Tenggara di Taiwan mencapai 150.000 orang, pekerja migran asing berkisar 700.000 orang, ditambah dengan generasi ke duanya maka total populasi imigran baru menjadi sangat besar dan mencapai 1,1 juta orang. Sama halnya dengan yang disampaikan oleh produser Warta Berita Bahasa Asia Tenggara Public Taiwan Service (PTS), Su Ling-yao, “Kami berkewajiban menggunakan bahasa negara asal mereka agar mereka dapat mengikuti setiap perkembangan yang terjadi di Taiwan setiap hari, termasuk berita internasional.”
Bulan April tahun 2018, PTS mulai menayangkan warta berita dalam Bahasa Asia Tenggara, dan menjadi satu terobosan besar dalam media berita di Taiwan. Walaupun di masa lalu, ada pemberitaan dengan Bahasa Asia Tenggara melalui radio maupun media cetak yang disalurkan melalui Radio Taiwan Internasional (RTI) dan Koran Empat Arah, namun untuk pemberitaan Bahasa Asia Tenggara bentuk audio video masih langka.
Tony berbagi pengalaman pribadinya di masa kuliah tentang cara memperoleh informasi berita melalui koran harian berbahasa Inggris seperti The China Post, Taipei Times, untuk memahami peristiwa besar yang terjadi baik di Taiwan maupun internasional, namun cara demikian bukanlah hal yang mudah untuk diikuti oleh sebagian besar warga asing.
Mengenai kesenjangan informasi, hal yang membuat Tony sangat terenyuh adalah saat wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) melanda Taiwan pada tahun 2003. Saat itu, ia bekerja di kantor pemerintah kota Taipei, berkesempatan terjun langsung dalam tugas sosialisasi pencegahan penyakit SARS, menyebarkan informasi pencegahan wabah ini dengan tampilan 6 jenis bahasa yakni Mandarin, Inggris, Tagalog, Thailand, Vietnam dan Indonesia, yang tertera pada selembar kertas ukuran A4 dan dicetak 3.000 eksemplar. Meskipun telah berupaya menyebarkan informasi dalam waktu sesingkat-singkatnya, tetap terkuak kabar duka dari Taipei City Hospital Heping Branch, setelah tiga hari dikarantina, ada 3 perawat asal Indonesia terjangkit SARS dan meninggal dunia.
Berita kematian TKI membuat Tony Thamsir merasa terpukul, ketika masyarakat Taiwan mengenakan masker mulut, mengukur suhu temperatur badan, menjalankan tindakan pencegahan penyakit, akan tetapi pekerja migran masih belum mengetahui secara jelas, apa itu sebenarnya SARS?. “Semua hanya mengetahui Taipei City Hospital Heping Branch dikarantina, hampir semua pemberitaan baik di televisi, koran maupun radio menggunakan Bahasa Mandarin!” Tony Thamsir merasa bersalah karena penyampaian sosialisasi dari dinas kesehatan terlalu lamban dan informasinya masih terbatas.
Ditambah lagi, setahun berikutnya terjadi tsunami, media cetak Taiwan tidak memberitakan dampak buruk tsunami juga melanda Banda Aceh, Indonesia. Dan masyarakat Indonesia di Taiwan, merasa panik karena tidak bisa mengetahui kondisi perkembangan di negara asalnya.
Mengalami peristiwa epidemi SARS dan tsunami, Tony Thamsir bertanya pada diri sendiri, “Ada banyak informasi di tangan saya, bagaimana caranya untuk menyebarkan informasi ini kepada puluhan ribu saudara sekampung halaman yang ada di Taiwan?, maka banyak saluran media telah dicobanya, bermula dari penyiar radio di RTI seksi Bahasa Indonesia, kemudian merintis majalah pertama berbahasa Indonesia di Taiwan《INTAI》…, hingga kini ia juga menekuni profesi sebagai pewarta berita Bahasa Indonesia di Public Television Service (PTS), satu demi satu langkah dijalaninya untuk memperluas penyebaran warta berita dalam bahasa Indonesia.
Membangun Jembatan Penghubung Kolaborasi Media Taiwan-Indonesia
Kehidupan Tony Thamsir tidak hanya mengakar di Taiwan saja namun ia berhasil membangun satu platform media penghubung lintas negara yakni Taiwan-Indonesia.
Suatu kebetulan yang menguntungkan bagi Tony Thamsir berkesempatan mengenal Senior Advisor untuk CEO Kantor Berita Indonesia ANTARA, Saiful Hadi. Selama Saiful Hadi berkunjung ke Taiwan dan disambut hangat oleh Tony Thamsir yang suka bergaul dan membawanya berwisata di Taiwan, kemudian pertemanan ini memberikan kesan baik di antara mereka.
Hingga pada saat RTI seksi Bahasa Indonesia menggelar acara Temu Pendengar di Jakarta pada tahun 2009, Tony Thamsir kembali mewujudkan satu langkah kemajuan dengan mempertemukan petinggi dari tiga instansi di antaranya RTI, Central News Agency (CNA) dan ANTARA. Pada bulan Desember 2009, ketiga pihak tersebut melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) kerjasama dan pertukaran berita, agar dapat mempersingkat waktu bagi Taiwan memperoleh berita Indonesia serta semakin tinggi peluang bagi informasi Taiwan diberitakan di Indonesia.
Melalui media, setiap negara berkesempatan dalam kondisi diplomasi yang terhimpit bisa mendapatkan solusi permasalahan dengan cara yang berbeda, “Media merupakan kekuatan pihak ke tiga, antara pemerintah dan masyarakat. Media menjadi kekuatan penyeimbang dan pengontrol yang mampu mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu kejadian”, tutur Tony Thamsir.
Setara dengan proses suatu hal yang sederhana dan terus disebar ulang oleh media, maka ada kemungkinan akan memperburuk kondisi bahkan menjadi suatu provokasi, Taiwan pernah dihebohkan dengan pemberitaan majikan memaksa pekerja Muslim makan daging babi. Terkait dengan pemberitaan ini, Tony Thamsir mengkhawatirkan isu tersebut akan memicu sinophobia di kalangan masyarakat Indonesia, maka ia mendalami seluk-beluk kejadian ini, dimana sebenarnya adalah hanya satu kesalahpahaman. Akan tetapi berita negatif tersebar cepat di Taiwan, menyebabkan sekelompok pekerja migran Indonesia melakukan aksi unjuk rasa di Chiang Khai-sek Memorial Hall, bahkan bersujud memohon agar majikan jangan memaksa umat Muslim makan daging babi.
Guna mengatasi dampak berita yang bisa memperburuk kondisi, Tony Thamsir mewawancarai Imam Masjid dan organisasi Indonesia di Taiwan yang cukup berpengaruh, mendalami perkembangan pemberitaan Islam di Taiwan, serta mengundang dua pekerja migran Indonesia selaku saksi hidup untuk mengklarifikasikan kenyataan bahwa sebagian besar majikan Taiwan tidaklah seperti demikian. Liputan berita ini juga dipublikasikan oleh kantor berita ANTARA Indonesia, “Setidaknya kami dapat menyampaikan kepada media Indonesia untuk tidak berlanjut menyebarkan informasi yang salah”, ujar Tony dengan lega.
Dedikasi untuk TaiwanBerkarya demi Masa Depan
Pada awalnya, pertimbangan dari kedua orang tua Tony Thamsir adalah sebagai warga keturunan Tionghoa kawin campur, setidaknya salah satu anak mereka dapat mengeyam pendidikan Bahasa Mandarin, maka mereka dengan agak memaksa Tony melanjutkan studi di Taiwan. Ditambah lagi karakternya cukup kuat dan pantang menyerah, selama menetap di Taiwan, prestasi di kampus semakin lama semakin meningkat, mencatat beberapa kemajuan di antaranya sebelum lulus kuliah, ia terseleksi sebagai Penasehat Asing di kantor pemerintah kota Taipei, bisa disebut tiada orang yang dapat menandingi prestasinya. Hingga hari ini, sudah pasti nama Tony Thamsir akan terpampang dalam daftar nama SDM berbakat asal Asia Tenggara di Taiwan, ia menjadi seorang pegiat kerjasama media Taiwan-Indonesia, dan bagi dirinya ini adalah suatu perkembangan diri yang tak terduga.
Setelah diwawancarai, Tony Thamsir masih menyampaikan ide baru yang ada di dalam benak pikirannya, apakah bisa mengadopsi seperti metode penandatanganan MoU antara RTI - CNA - ANTARA, kembali terulang pada kerjasama pertukaran berita antara media televisi Taiwan-Indonesia? Ia berharap mampu kembali berkontribusi bagi kedua negara ini.
“Saya tinggal di Taiwan sudah berjalan 24 tahun, separuh hidup saya telah dikontribusikan untuk negara ini, ini adalah janjiku.” Tony Thamsir akan melanjutkan karyanya dalam memperluas pertukaran kerjasama sektor jurnalistik Taiwan-Indonesia.