Perpaduan Budaya dan Lingkungan Hidup
Taijiang dari Masa ke Masa
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Maria Sukamto
April 2024
Lingkungan laguna Taijiang meliputi area intertidal, laguna, tasik, kolam akuakultur dan dataran garam semua merupakan habitat ideal bagi burung akuatik.
Berbicara tentang Taijiang, apabila Anda seorang pegiat revitalisasi daerah setempat, akan mengetahui cerita “Gerakan Sekolah Kuil” Taijiang. Jika Anda seorang pencinta gunung dan hutan, akan mengetahui itu adalah titik awal dari jalan hijau dari gunung ke laut. Lalu, jika Anda seorang pengamat burung, pasti sudah tidak asing lagi dengan Taijiang yang adalah habitat sementara bagi burung black-faced spoonbill yang melewati masa musim dingin di Taiwan. Berdirinya Taman Nasional Taijiang sangat erat kaitannya dengan habitat pelestarian burung black-faced spoonbill Taiwan.
Taijiang bukanlah sebuah kawasan administrasi resmi dalam peta, melainkan sebuah tempat yang menghiasi setiap cerita indah yang tidak pernah bosan ditulis oleh para pencinta alam.
Taijiang: Titik Awal Jalan Hijau dari Gunung ke Laut.
Pembentukan Sekolah di Kuil, Sebuah Aksi Budaya Lokal.
Setiap dusun di Taiwan memiliki kuil dusun, “kuil dusun adalah sekolah, sekolah komunitas pada zaman itu.” Kuil dusun juga disebut “Gongci”, yang menangani koordinasi urusan publik dalam dusun. Kuil dusun menjadi pusat budaya, tempat belajar dan arena partisipasi warga yang sangat ideal. Begitu tutur Wu Mao-cheng Ketua Eksekutif Universitas Komunitas Tainan (TCU) cabang Taijiang saat bercerita tentang cikal bakal “Sekolah Kuil”.
Hasrat menjadikan kuil sebagai tempat pembelajaran mendapatkan dukungan dari Rektor TCU Lin Chaocheng saat itu dan Direktur Eksekutif Lin Guanzhou, demikian pula Wu Jinchi kepala kuil Chaohuang di Haiwei juga ingin menggalakkan pendidikan, maka pada tahun 2007, berdirilah TCU cabang Taijiang di kuil Chaohuang Haiwei.
Kurikulum pembelajaran ala Taijiang lokal meliputi “budaya adat istiadat Taijiang”, “wisata menelusuri pengairan, mengenal dan memonitor lingkungan hidup kawasan Taijiang”, “menjelajahi museum komunitas Haiwei” dan menciptakan lagu untuk kampung halaman, agar masyarakat mendapatkan jalan pulang kembali mengenal alam dan kampung halaman.
Kini Museum Nasional Sejarah Taiwan yang terletak di jalan hijau dari gunung ke laut sering mengadakan pameran untuk memberitahu warga bahwa teluk yang terbina menjadi “Laguna Taijiang” 400 tahun lalu, adalah tempat pendaratan Zheng Chenggong (Koxinga) pejabat Dinasti Ming pada tahun 1661, dan menjadi tempat pendaratan pertama bagi leluhur imigran yang mengarungi selat dari daratan Tiongkok ke pulau Taiwan di zaman dulu, ini adalah tempat pendaratan yang paling awal, mengandung makna dimulainya suatu sejarah.
Kuil menjadi sekolah adalah aksi budaya rakyat yang dimulai dari kuil Chaohuang di Haiwei.
Pelaksanaan Filosofi Melindungi Lingkungan Habitat
Dewa utama dalam kuil Chaohuang adalah Baosheng Dadi, warga setempat menyebutnya sebagai “Dadaogong”, mencontoh gelar “Dadaocenren” dalam masa dinasti Sung yang berarti Dewa Penyembuh.
Warga desa sebagian besar adalah anak angkat sang Dewa Penyembuh, Wu Mao-cheng menjelaskan, Dadaogong adalah seorang dokter, di mana “melindungi kesehatan rakyat” adalah misinya, kalau menurut pandangan zaman sekarang maka ia adalah “pelestari lingkungan dan pelindung jiwa”.
Titik awal jalan hijau dari gunung ke laut dimulai dengan melindungi kelestarian sungai. Laguna Taijiang adalah sebidang lahan paya, anak-anak yang dilahirkan di sana mempunyai kenangan masa kecil “bermain air”, tetapi sungai kemudian tercemar, telaga air sudah tidak ada ikan maupun udang. 18 tahun yang lalu, para guru dan murid SD Haidian serta para orang tua murid membentuk klub baca buku Taijiang, lalu melancarkan aksi peduli lingkungan perairan sungai.
Para guru dan murid bersama-sama menelusuri sungai, menapaki gunung untuk mencari tahu penyebab pencemaran air, mereka menemukan penyebabnya, “daerah sekitar museum nasional sejarah Taiwan dengan radius 10 km terdapat 8 kawasan industri, 4 di antaranya tidak menyediakan pabrik pengolahan limbah.” Untuk itu mereka menyelenggarakan rapat dengar pendapat menolong perairan Chianan (Chiayi Tainan) dengan mengajukan 2 gagasan: Menanam pepohonan di sepanjang jalan dan mengantisipasi air limbah.
Kemudian semakin banyak tim bergabung, selama bertahun-tahun melakukan inspeksi perairan sungai, mengamati lingkungan hidup, dan mempromosikan rapat diskusi umum.
Anda akan tertarik dan tergugah dengan semangat Wu Mao-cheng yang menggagaskan “Kuil sebagai Sekolah” dan ceritanya tentang irigasi dari gunung hingga laut.
Swasta dan Pemerintah Bersatu Padu Membangun Jalan ke Gunung Yushan
Rapat dengar pendapat umum tim penolong Taijiang tahun 2006 memperoleh pengukuhan dari wakil presiden sekarang yaitu Lai Ching-te, yang saat itu menjabat sebagai legislator kota Tainan, Beliau mengundang berbagai instansi untuk melakukan penghijauan dengan menanam pepohonan di sepanjang tepi sungai irigasi Chianan.
Pada tahun 2010, administrasi pemerintahan kota dan kabupaten Tainan digabung menjadi satu, sekaligus mewujudkan kelanjutan jalan ke arah kawasan Guantian tepatnya Waduk Wushantou, dan terciptalah “Jalan Hijau Tainan dari Gunung ke Laut”, menjadi pelopor terbentuknya “Jalan Hijau Nasional Taiwan dari Gunung ke Laut”
Tahun 2017, National Development Council (NDC) mencanangkan “Program Strategis Pembangunan Jalan Hijau”, kemudian semangat perjuangannya dikembangkan oleh Biro Kehutanan yang sekarang adalah Komisi Konservasi Hutan dan Alam. Pada tahun 2018 “Jalan Hijau Nasional dari Gunung ke Laut” diresmikan, dimulai dari taman nasional Taijiang, menelusuri hulu sistem irigasi Chianan hingga ke waduk Wushantou, dilanjutkan sepanjang perairan sungai Zengwen melintasi gunung Ali (Alishan) dan tiba di gunung Yu (Yushan) dengan ketinggian 3.952 meter di atas permukaan laut.
Jalan hijau nasional sepanjang 177 km ini menjadi mikrokosmos sejarah Taiwan selama 400 tahun yang merangkum budaya Taijiang dengan suku Siraya dan suku Tsou, mengandung diversifikasi ekosistem alam, 5 macam iklim zona hutan serta 4 jenis perairan. Mencerminkan keragaman Taiwan yang bertitik awal di Taijiang.
Pameran tetap di museum nasional sejarah Taiwan menceritakan sejarah Taiwan dalam 400 tahun.
Burung Black-faced Spoonbill di Taijiang
Taijiang: Surga Burung Air
Burung black-faced spoonbill semula menurut statistik dunia hanya tersisa 288 ekor, berkat upaya keras perlindungan satwa mancanegara, hingga sekarang menurut sensus internasional sudah mencapai 6.603 ekor, sedangkan Taiwan adalah habitat utama mereka untuk melewati musim dingin setiap tahun, jumlah burung black-faced spoonbill yang terhitung pada tahun 2023 tercatat ada 4.228 ekor mencakup 2/3 dari total seluruh dunia.
Tai Tzu-yao, Sekjen Yayasan Konservasi Burung Black-faced Spoonbill Taiwan mengatakan, “Lingkungan laguna Taijiang meliputi area intertidal, laguna, tasik, kolam akuakultur dan dataran garam, semua merupakan habitat ideal bagi burung akuatik. Apalagi Taiwan berada di jalur migrasi burung akuatik Asia Timur, sehingga banyak burung akuatik dalam perjalanan migrasi akan singgah untuk beristirahat atau melewati musim dingin, kawasan ini tidak hanya disukai burung black-faced spoonbill saja, melainkan adalah surga bagi semua burung akuatik.”
Philip Kuo, Ketua Pengurus Tetap Yayasan Pengamat Burung Tainan yang sudah meneliti burung black-faced spoonbill selama puluhan tahun, bercerita kepada kami bahwa pencinta burung di Taiwan selatan semua mengetahui burung black-faced spoonbill adalah burung migrasi musim dingin yang tetap, yang selalu mampir setiap tahun, sampai tahun 1988 ketika Yayasan Pengamat Burung Hong Kong mengumumkan jumlah populasi mereka, barulah disadari jumlah burung ini mengalami krisis kepunahan.
“Waktunya sangat bertepatan dengan waktu pembangunan zona industri Binnan,” tutur Tai Tzu-yao, lokasi kawasan industri Binnan bertepatan ada di area habitat burung akuatik melewati musim dingin, terjadilah bentrokan antara isu pembangunan ekonomi dan peduli lingkungan, kelompok NGO Taiwan seperti Yayasan Pengamat Burung di Kaohsiung, Taipei, Tainan, dan masih banyak lagi seperti kelompok pengamat burung liar di berbagai perguruan tinggi semua serentak bersuara, juga mendapatkan suara dukungan dari SAVE (Spoonbill Action Voluntary Echo), mereka akhirnya berhasil menggagalkan pengembangan zona industri tersebut.
Pada tahun 1994, pemerintah merancang Kawasan Konservasi Satwa Liar Sicao (515 Hektar), dan pada tahun 2002 membangun lahan habitat untuk satwa liar, di antaranya ada 300 hektar sebagai kawasan konservasi burung black-faced spoonbill di hulu sungai Zengwen. Pada tahun 2009 Taman Nasional Taijiang diresmikan.
Jalan Hijau Nasional dari Gunung ke Laut mengajak masyarakat meniti Taijiang ke Yushan dengan berbagai cara seperti berjalan kaki, naik sepeda, naik bus umum atau kapal pesiar.
Wu Mao-cheng memimpin rombongan Little Taijiang menjelajahi kampung halaman.
Awal Mula Riset Perlindungan Satwa
“Karena burung black-faced spoonbill hanya ada di Asia Timur, dengan populasi semula yang begitu sedikit, maka Taiwan memainkan peranan penting dalam riset dan perlindungan satwa liar.” Tambah Tai Tzu-yao.
Menghitung jumlah burung adalah tugas yang paling mendasar, karena dari perubahan angka bisa diketahui perubahan kelompok burung tersebut, mengindikasikan perubahan pada habitat lingkungan. Seiring dengan kemajuan teknologi, “Dulu seluruh dunia mengetahui burung black-faced spoonbill adalah burung migrasi musim dingin, tetapi tidak jelas ke mana mereka pergi di musim panas, sampai akhirnya memasang alat deteksi transmiter di tubuh burung, pertama kalinya berhasil melacak di hulu sungai Zengwen Tainan, berkat pelacakan satelit, berhasil mengetahui burung-burung itu terbang kembali ke perbatasan Korea utara dan selatan untuk berkembang biak,” demikian penjelasan Tai Tzu-yao.
Peristiwa keracunan massal burung black-faced spoonbill di Taiwan pada tahun 2002, mematikan 73 ekor, penyebabnya adalah keracunan bakteri Clostridium botulinum. Sejak saat itu, pekerjaan melindungi burung black-faced spoonbill bertambah satu lagi, yaitu berpatroli membersihkan bangkai ikan di kolam akuakultur. Philip Kuo menjelaskan, “Clostridium botulinum adalah bakteri anaerobik, sehingga bangkai adalah tempat pembiakan yang ideal, ketika termakan burung black-faced spoonbill racunnya akan menyerang sel otot, menyebabkan kelumpuhan otot.” Jika menemukan ada burung black-faced spoonbill yang kakinya lemas, harus segera mendapatkan pertolongan darurat.
Tim pelindung satwa melakukan terobosan besar dengan mengadopsi dataran garam negara yang terbengkalai, dikelola menjadi habitat ramah lingkungan. Tokoh dalam foto adalah para rekan Yayasan Perlindungan Burung Black-faced Spoonbill, kanan 1 Tai Tzu-yao.
Mengamati Burung Black-faced Spoonbill
Warga lokal Taiwan menamai burung ini sebagai “Angsa Sendok” atau “Oo-bīn-lā-pue” si wajah hitam, julukan ini disebabkan mulut burung seperti sendok dan cara mereka memburu ikan dengan menyapu paruhnya secara horizontal melahap ikan-ikan di dalam air. Burung black-faced spoonbill kebanyakan tidur di siang hari dan mulai mencari makan di petang hari.
Burung-burung black-faced spoonbill tiba di Taiwan pada bulan Oktober, berdiam selama setengah tahun di Taiwan, hingga bulan Maret tahun berikutnya, ketika jambul dan bulu dadanya berubah menjadi warna kuning, menandakan mereka sudah dewasa siap untuk berkembang biak, dan berarti sudah waktunya bagi mereka untuk pulang ke utara.
Gaya burung black-faced spoonbill ketika beristirahat adalah berdiri dengan satu kaki, kepalanya memutar ke belakang 180 derajat memasukkan jungurnya ke bulu-bulu di punggung.
Pemerintah, NGO dan Masyarakat
Tiba di sebuah kolam akuakultur lainnya, Philip Kuo menunjuk sebuah papan yang berdiri di pinggir kolam, bertuliskan cara “Pembangunan Habitat Ramah Ekologi”, mengimbau para nelayan dihimbau untuk tetap mempertahankan air di kolam dengan ketinggian 20 cm setelah panen, menyisihkan ikan-ikan kecil sebagai santapan burung black-faced spoonbill.
Dewasa ini ada beberapa dataran garam milik negara di pesisir Chianan, berdasarkan “Prinsip Pemanfaatan Lahan Negara Non Publik untuk Kepentingan Peduli Lingkungan”, sudah ada beberapa kelompok peduli lingkungan bersama-sama mengadopsi seluas 1.230 hektar dataran garam milik negara di kawasan Qigu dan Jiangjun, agar lahan terbengkalai ini dapat dikelola sebagai lahan untuk menyediakan lebih banyak lokasi peristirahatan bagi burung migrasi.
Keberhasilan perlindungan atas burung black-faced spoonbill adalah suatu kebanggaan bagi tim Asia, dan juga menjadi teladan dunia, hanya saja Philip Kuo tak lupa mengingatkan kami akan makna sesungguhnya di balik semua ini, “Burung black-faced spoonbill adalah satwa di bawah payung pelindung, dengan melindungi burung black-faced spoonbill dan lingkungan habitatnya, sama dengan melindungi semua makhluk hidup beragam yang berada dalam lingkungan tersebut.”
Gaya terbang burung black-faced spoonbill.
Philip Kuo Ketua Pengurus Yayasan Pengamat Burung Tainan mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan melindungi burung black-faced spoonbill.