Lahir Bersama Pelabuhan
Pembauran Lama dan Baru di Yancheng
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Lin Min-hsuan Penerjemah‧Maidin Hindrawan
April 2024
Yancheng awalnya adalah sebuah ladang penjemuran garam, tetapi di bawah perencanaan perkotaan pada masa kolonial Jepang, Yancheng diangkat menjadi Sakariba (distrik konsumen dan hiburan yang ramai) pertama di Kaohsiung dan bertransformasi menjadi tempat penjualan produk impor dan jendela budaya Amerika setelah Perang Dunia II. Secara kebetulan tidak sedikit peluang yang memengaruhi perkembangan Yancheng, tetapi kemajuannya selalu berkaitan erat dengan Pelabuhan Kaohsiung.
Mengunjungi Lee Wen-huan, pengarang buku “The Prelude to Kaohsiung the Harbor Metropolis: Hamasen” dan “Kaohsiung's First Sakariba: Yancheng”, Lee Wen-huan langsung mengatakan intinya, “Dua kawasan komersial utama di Kota Kaohsiung —— Hamaxing dan Yancheng dibangun oleh pemerintah Jepang; fondasi Kaohsiung sekarang ini juga dibangun pada era Jepang.”
Kios jasa jahit milik Nyonya Ye di Lainan Street adalah salah satu dari beberapa “kios tembok” yang tersisa di Yancheng. Diciptakan untuk menanggapi semakin ramainya kawasan komersial, kios-kios tersebut berbisnis di trotoar dan pojok tembok bangunan. Bisa dibayangkan betapa ramainya Yancheng saat itu.
Kawasan yang Dibangun Orang Jepang
Pelabuhan Kaohsiung sebelumnya dikenal dengan sebutan “Pelabuhan Takao” dan mulai dikenal di kancah internasional ketika dibuka untuk perdagangan luar negeri berdasarkan Traktat Tianjin. Setelah berakhirnya Perang Tiongkok-Jepang Pertama, Taiwan menjadi koloni Jepang, mempertimbangkan metode pengangkutan sumber daya penting ke Jepang maka pembangunan jalur kereta api dan pelabuhan diprioritaskan. Untuk itu, pemerintah Jepang membangun jalur vertikal kereta api dari Taiwan utara hingga Stasiun Pelabuhan Takao (sekarang “Museum Kereta Api Takao”), juga mengeruk alur pelabuhan dan menggunakan tanah lanau yang diperoleh untuk proyek reklamasi lahan kawasan Hamaxing saat ini. “Stasiun Pelabuhan Takao mulai beroperasi pada tahun 1900, sedangkan tahap pertama program reklamasi lahan selesai pada tahun 1905. Setelah itu volume perdagangan di Pelabuhan Takao bertumbuh stabil, transaksi perdagangan tahun 1907 telah melampaui Pelabuhan Anping di Tainan,” jelas Lee Wen-huan melihat kembali perkembangan Kaohsiung.
Keuntungan yang diperoleh dari pelabuhan tersebut mendorong pemerintahan Gubernur Jenderal Jepang untuk segera memulai pembangunan pelabuhan tahap kedua (1908-1945), dikarenakan letak Yancheng berdekatan maka menjadi pilihan pertama untuk dibangun dermaga, gudang dan kawasan komersial baru, kemudian Yancheng ditransformasi menjadi sebuah kawasan bergaya baru.
Lee Wen-huan meminta kami mengingat masa lalu ketika kapal uap merupakan pengangkut kargo umum untuk barang ekspor seperti biji-bijian dan gula pasir yang dikemas dalam karung goni. Proses bongkar muat di pelabuhan membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga memberikan lapangan kerja dan menarik banyak pendatang.
Pelaut adalah kelompok dominan lainnya. Lee Wen-huan mengutip data statistik yang menunjukkan setelah tahap pertama pembangunan dermaga di Kaohsiung selesai pada tahun 1912, setidaknya ada 150 kapal keluar masuk pelabuhan tersebut per tahun, masing-masing dengan awak kapal sekitar 40-50 orang. Sejak tahun 1920, setidaknya 600 kapal dengan awak berjumlah puluhan ribu orang memasuki pelabuhan setiap tahun. Mereka berperan sebagai kekuatan pendorong penting bagi pengembangan kawasan pelabuhan. Lee Wen-huan menambahkan penjelasan bahwa daya konsumsi para pelaut dan pekerja dermaga ini tidak boleh diremehkan, dengan gaji yang tinggi, mereka adalah faktor utama pengembangan komersial awal Yancheng.
Di Yancheng yang terkenal akan konsumsinya, restoran-restoran kecil yang menyajikan makanan untuk masyarakat umum bisa ditemukan di mana-mana. Dalam foto adalah sup bihun bandeng yang disajikan di Pasar Dagouding. Hidangan kulit ikan bandeng diisi dengan adonan daging ikan ini adalah sarapan atau makan siang lokal yang sangat direkomendasikan.
Era Sakariba
Sejarawan umumnya membahas perkembangan daerah dari sudut pandang produksi ekonomi, tetapi Lee Wen-huan beranggapan akan lebih bermanfaat jika melihat Yancheng dari sudut pandang “konsumsi”. Ia mengutip definisi “Sakariba” dari sosiolog Jepang Kazuteru Okiura yakni “Sakariba adalah kawasan komersial yang menggabungkan berbagai profesi khusus, industri jasa dan penjualan barang konsumsi, yang menawarkan jasa dan hiburan.”
Lee Wen-huan merapikan dan memilah-milah bahan-bahan sejarah untuk mencari tahu seperti apa rupa Sakariba Yancheng dari berbagai aspeknya, termasuk makanan dan minuman modern, aktivitas rekreasi yang beragam dan barang-barang konsumsi yang menakjubkan. Perkembangan pelabuhan mendorong pertumbuhan populasi di lingkungan sekitar, mendorong munculnya pasar umum gaya baru. Munculnya sebuah jalan yang dipenuhi tempat makan dan minum merupakan indikator budaya makan di luar dan makan minum yang bersifat rekreasi. Adanya restoran dan tempat minum dengan ruang pertunjukan juga membuktikan bahwa makan bukan sekedar untuk mengisi perut, melainkan juga sebagai aspek budaya.
Kopi – menjadi bagian dari gaya hidup populer di Kaohsiung pada tahun 1930-an, sebagian besar kedai kopi berpusat di Yancheng, pada masa puncaknya mencapai total ada 21 kedai. Di bawah pemerintahan Jepang terdapat empat teater di Yancheng di antaranya Takao, Kinshi, Entei dan Showa yang menunjukkan bisnis hiburan telah mendorong pertumbuhan restoran lokal dan tren konsumsi. Di Yancheng juga terdapat sebuah bangunan yang dikenal sebagai “Takao Ginza” (sekarang “International Market”) yang merupakan pusat perbelanjaan memesona. Pada tahun 1938 dibukanya Yoshii Department Store menjadi pasaraya pertama di Kaohsiung, dan salah satu dari 3 pasaraya di Taiwan pada era pemerintahan Jepang. Dua pasaraya lainnya adalah Kikumoto Department Store di Taipei dan Hayashi Department Store di Tainan, kehadiran Yoshii Department Store mendorong penjualan barang konsumsi Yancheng ke puncak baru.
Kaohsiung Museum of History menyimpan artefak sejarah yang menunjukkan perkembangan Kaohsiung. Terletak di Yancheng, museum ini dulunya merupakan gedung pemerintah Kota Kaohsiung di bawah pemerintahan Jepang dan kemudian menjadi Balai Kota Kaohsiung.
Toko Antik Penuh Barang-barang Unik dari Penutuhan Kapal
Industri penutuhan kapal sempat menjadi selingan singkat dalam sejarah Yancheng. Setelah Perang Dunia II, ada banyak bangkai kapal yang tenggelam di sekitar Pelabuhan Kaohsiung dan pemerintah saat itu mengizinkan pihak swasta untuk melakukan penyelamatan, pembongkaran dan penjualan kembali bagian kapal-kapal tersebut kepada pihak dengan kebutuhan yang berbeda untuk mendapatkan keuntungan, inilah yang menjadi asal mula industri penutuhan kapal di Kaohsiung. Setelah itu, pengusaha yang optimis dengan keuntungan dari pembongkaran kapal bahkan mengimpor kapal bekas dari luar negeri dan industri penutuhan kapal berkembang pesat di Kaohsiung selama lebih dari 20 tahun.
Saat mengunjungi toko barang antik “Ancient Mariner” di tepi Love River, pemiliknya Huang Tao-ming mengatakan, “Saya telah berkecimpung dalam bisnis ini selama lebih dari 50 tahun.” Benda paling langka dalam koleksinya adalah sebuah kronometer laut dan sekstan, lanjut Huang sambil mengeluarkan sebuah kotak kayu berisi kronometer laut dari tahun 1898. “Dulu tidak ada GPS dan ketika kapal berada di laut, mereka menggunakan kronometer laut dan sekstan untuk memeriksa apakah ada penyimpangan arah pelayaran.”
Selain alat navigasi profesional, “Ini ada helm selam peninggalan Jepang, luojingtai (gemantic compass), peluit kabut, lampu sorot dan telegraf mesin kapal dari berbagai negara…..” Huang Tao-ming menunjuk satu per satu barang berharganya.
Jalanan dengan Kisah Pelabuhan
Pada tahun 1950-an, saat Amerika Serikat membantu mempertahankan Taiwan, kapal militer Amerika Serikat sering berlabuh di Pelabuhan Kaohsiung, dan Yancheng menjadi pusat peristirahatan dan rekreasi bagi personel militer Amerika Serikat. Keramaian di Qixian 3rd Road, yang melintasi Yancheng hingga ke pelabuhan dan dikenal sebagai “Bar Street”, mendorong perkembangan restoran, toko pakaian serta tempat hiburan di kawasan sekitar.
Di bawah keadaan politik dan ekonomi khusus di Taiwan pada zaman itu, pemerintah secara ketat mengontrol devisa dan mengenakan tarif tinggi pada produk impor, tetapi tetap tidak mampu menghalangi orang atau barang yang ingin diedarkan, karena Yancheng terletak sangat dekat dengan pelabuhan, barang-barang yang dibawa pulang secara pribadi oleh para pelaut akan segera dijual di sana. Jika menginginkan “barang impor” terpopuler maka Yancheng pun menjadi tempat yang harus didatangi.
Pendiri “3080s Local Style”, Chiu Cheng-han yang kembali ke Yancheng pada tahun 2011, menemukan banyak hal menarik tentang daerah tersebut melalui perbincangan dengan tetangga dan penelitian lapangan.
Misalnya, Xinle Street terkenal dengan toko perhiasannya, tapi mengapa toko-toko ini terkonsentrasi pada daerah dekat pelabuhan? Chiu Cheng-han menemukan jawaban, “Karena terletak di dekat pelabuhan, informasi beredar paling banyak di sini.” Pada era ketika akses informasi terbatas, dengan adanya kapal yang berlayar untuk jalur Kaohsiung - Hong Kong setiap hari, orang-orang dapat memperoleh berita terkini mengenai nilai tukar mata uang dan harga emas. Lee Wen-huan menambahkan bahwa dulunya ini adalah tempat yang didatangi para pelaut untuk mendapatkan mata uang asing, sebelum meninggalkan pelabuhan untuk membeli barang di luar negeri yang dibawa kembali untuk dijual di Taiwan.
Saat masih remaja, nenek Chiu Cheng-han belajar tata rambut dan desain pakaian pengantin di Jepang dan setelah kembali ke Taiwan membuka “salon kecantikan Zheng-Mei” di Wufu 4th Road. Pada awalnya toko ini berorientasi pada tata rias dan tata rambut, melayani konsumen yang bekerja sebagai bar girl hingga bisnis ini dapat bertahan. Kemudian bertransformasi menjadi lebih mengandalkan gaun pengantin pernikahan gaya Barat. Pasalnya, toko tersebut berada tepat di seberang Pasar Kujiang, yang merupakan pusat utama barang-barang modis di Taiwan selatan pada saat itu. Ketika mempersiapkan pernikahan, pengantin baru akan berkunjung ke Xinle Street untuk membeli mahar pernikahan berupa perhiasan emas dan 12 hadiah tradisional. Yang selalu menarik perhatian mereka adalah gaun pengantin yang dipajang di jendela “Zheng-Mei”, setelah itu toko tersebut semakin terkenal dan banyak warga di luar Kaohsiung secara khusus ke sana untuk menyewa gaun pengantin.
“Anda dapat menemukan relasi manusia dengan toko-toko di sini berkaitan erat dengan teori enam tingkat pemisahan, apa pun kaitannya, selalu ada hubungannya dengan pelabuhan,” tutur Chiu Cheng-han.
Pakaian dan helm selam, sekstan dan kronometer laut adalah beberapa koleksi yang dipajang di toko barang antik milik Huang Tao-ming. Rasanya seperti memasuki terowongan waktu kenangan untuk industri penutuhan kapal di Kaohsiung.
Chiu Cheng-han mentransformasi bekas toko neneknya menjadi studio “3080s Local Style” sambil melestarikan jejak sejarah pada ruang-ruang di dalamnya, dan memberikan fungsi serta makna baru baginya di era modern.
Menjadi Kota Lautan
Ini adalah gaya hidup yang berkaitan dengan pelabuhan yang diidamkan oleh Chiu Cheng-han. Berbicara tentang alasannya kembali ke kampung halaman, ia mengatakan, “Awalnya sangat sederhana, karena Yancheng pada masa kecil saya sepertinya sudah hampir lenyap.”
Dikarenakan bisnis beralih menjadi eksportir pada tahun 1990-an sehingga toko neneknya Zheng-mei tidak lagi digunakan. Chiu Cheng-han merenovasinya, selain tetap melestarikan jejak sejarah pada ruang-ruang di dalamnya juga secara khusus mengadopsi tahun kelahiran nenek dan dirinya yakni tahun 1930-an dan 1980-an dengan nama “3080s Apartment” (kemudian diubah menjadi studio kerja, dan namanya diganti menjadi “3080s Local Style”) sebagai simbol warisan dari generasi ke generasi.
Setelah kembali ke kampung halaman, Chiu Cheng-han menemukan bahwa Yancheng menghadapi masalah ketidakseimbangan yang serius. Semua orang berpikir bahwa barang baru lebih baik daripada barang lama dan barang lama akan lenyap. Selain itu, begitu banyak sumber daya yang disuntikkan untuk kawasan Pier2 Art Center, kawasan komersial kota tua yang dahulu sempat ramai kini semakin sedikit pengunjungnya.
Chiu Cheng-han memiliki ide untuk merenovasi “Pasar Ritel Umum Pertama Yancheng” untuk memberikan fungsi dan makna pada ruang lama di era baru. Dia pertama kali menyewa stan di pasar dan membuka “Kios Pasar 3080s” untuk berdagang barang bekas sehingga dirinya menjadi anggota pasar tersebut. Ia lalu mengomunikasikan gagasannya kepada pelaku usaha yang sudah ada di sana dan timnya menyewa stan-stan lain serta merekrut pedagang-pedagang muda untuk bergabung. Hasilnya adalah di samping stan daging babi di pasar tradisional ini, orang-orang bisa berkreasi memasak, berjualan gorengan adonan ikan, dan menawarkan tempat di mana pelanggan dapat duduk dan menikmati minuman atau mencicipi burrito yang eksotis. Pasar tradisional yang dikelola bersama oleh generasi dari segala usia ini ternyata menarik banyak pelanggan muda.
Pada tahun 2020, Chiu Cheng-han juga menemukan ruang yang cocok di “Takao Ginza” untuk dikembangkan sebagai tempat perpaduan yang terutama menawarkan akomodasi, yang disebut “House of Takao Ginza”, untuk bereksperimen dengan kemungkinan ruang-ruang lama. Berkat pengaruh dari tim 3080s, bangunan-bangunan tua di Yancheng tidak lagi terus-menerus dirobohkan, sekarang semakin banyak orang yang pindah ke ruang-ruang tua untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan semakin banyak juga yang bersedia mengunjungi kawasan lama ini untuk mengenal pembauran lama dan baru di Yancheng.
Apakah deskripsi dari awal ini dapat membuat Anda merasa penasaran untuk mengunjungi Yancheng? Anda boleh naik kereta ringan LRT ke Kaohsiung Music Center, lalu berjalan kaki dari Pier2 Art Center ke distrik tua Kaohsiung atau naik kapal pesiar untuk menikmati pemandangan pelabuhan dari laut dan berjalan-jalan di sepanjang tepi pelabuhan untuk merasakan hubungan erat antara pelabuhan dan kehidupan.
Alasannya kembali ke kampung halaman sangat sederhana, karena Chiu Cheng-han khawatir, “Yancheng pada masa kecil sepertinya sudah hampir lenyap.”
Mengubah Pasar Ritel Umum Pertama Yancheng menjadi ruang komersial yang dapat dinikmati oleh semua usia, Chiu Cheng-han berharap dapat melestarikan kenangan dan interaksi yang terkait dengan berbelanja di pasar tradisional.