Eksplorasi Masa Lalu dan Masa Kini Yunlin
Bersepeda Mengitari Peta Dataran Yunlin
Penulis‧Rina Liu Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Amina Tjandra
Oktober 2024
Kabupaten Yunlin adalah daerah industri pertanian terbesar di Taiwan, dengan menggowes sepeda memasuki kota kecil, dari kota kecil mengitari hamparan sawah yang luas, mengikuti arus air sepanjang sungai. Apa yang dibagikan oleh Kabupaten Yunlin kepada pesepeda adalah nuansa sayur-mayur bercampur dengan aroma tanah yang segar dan aset budaya bersejarah yang sangat berharga dan patut dijelajahi.
Menelusuri jalan provinsi Tai-17 menuju ke Kuil Haicing di Santiaolun, Kecamatan Sihu, Yunlin, kami menemukan jalur bersepeda yang dikelilingi oleh pepohonan lebat bagaikan memasuki Hutan Hitam (black forest), di sini merupakan titik awal menuju ke lahan basah Chenglong. Angin laut menggerakkan turbin raksasa yang menebarkan aroma asin laut, memberikan pengalaman yang langka selama perjalanan di dataran Yunlin.
Lahan Pertanian Yang Hilang Terlahir Kembali Menjadi Lahan Basah
Setiba di pintu masuk lahan basah, kami memarkirkan sepeda kami, kemudian berjalan santai menelusuri jalan setapak kayu memasuki lahan basah. Bulatnya matahari terbenam, menyinari permukaan air di lahan basah seluas hampir 50 hektar, tampak kawanan burung akuatik tengah asyik memangsa udang dan ikan, lalu kawanan burung bersahut-sahutan dan mengepakkan sayapnya, beterbangan menembus cahaya senja dari arah berlawanan.
Semula lahan basah Chenglong adalah lahan pertanian, dikarenakan pengambilan air tanah yang berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan tanah, ditambah lagi angin taifun yang memicu intrusi air laut, pada akhirnya para petani berpindah dan meninggalkan lahan pertanian mereka. Melalui upaya restorasi yang dilakukan oleh komunitas masyarakat dengan mengundang seniman untuk menempatkan seni instalasi mereka yang bersimbiosis dengan lingkungan, hingga pada akhirnya berubah menjadi habitat bagi berbagai spesies ikan, udang, kepiting, tanaman lahan basah dan burung akuatik untuk menetap dan berkembang biak.
Menjelang malam, kami bersepeda mengunjungi Kuil Chaotian yang megah di Beigang. Di depan kuil bergelantungan lampion kuno berwarna merah jambu di sepanjang jalan. Kuil tua bersejarah yang berusia lebih dari 300 tahun, melalui desain tata pencahayaan dari seniman Chou Lien, membuat setiap dewa tampak hidup pada malam hari, hiasan pada ceracapan, balok dan pilar serta lukisan mural di dinding, semuanya sangat indah menakjubkan.
Huwei Salon adalah rumah model barat yang dibangun orang Taiwan, mengadopsi model atap tradisional ala Jepang, bangunan model “teikan yoshiki (mahkota kekaisaran” yang trendi pada masa tersebut.
Bangkit Karena Agama, Sejahtera Karena Pertanian
Menyambangi Pusat Kebudayaan Beigang yang memiliki koleksi benda-benda keagamaan yang antik, menyaksikan berbagai ritual, tradisi, barang peninggalan dan aset budaya yang ada di Kuil Chaotian. Kemudian melangkah naik ke lantai 2, ada Ketua Chinese Taipei Dragon and Lion Dance Federation sekaligus instruktor, Wu Teng-hsing yang sedang merapikan perlengkapan sembahyang yakni “bendera upacara pemakaman”. Wu Teng-hsing menjelaskan, “Jenis bendera ini, pada masa lalu digunakan pada upacara pemakaman tokoh penting atau bangsawan, baru menggantung bendara ini di aula upacara pemakaman, sebagai tanda penghormatan”.
Wu Teng-hsing masih mengoleksi satu buku berukuran sebesar telapak tangan, buku saku tentang “penjelasan ramalan Ciamsi”, terbitan dari Taiwan Daily News pada tahun 1911. Kertas-kertas dalam buku ini sudah menguning dan semi transparan, dipenuhi dengan tulisan penjelasan ramalan kuno Ciamsi. Selama belasan tahun Wu Teng-hsing aktif mempromosikan aset peninggalan budaya tak benda milik Beigang dan mengatakan, “Sebelum Yunlin ditetapkan menjadi kabupaten, semua penduduk di sini adalah “warga Tainan”. Setelah mandiri dan menjadi kabupaten, warga Yunlin menemukan banyak sekali dokumen dan peninggalan yang awalnya dibuat untuk hal-hal keagamaan dan melestarikannya, karena ini menjadi cara untuk melestarikan budaya Yunlin.”
Sebelum sore, kami bersepeda melintasi jalan raya kabupaten no. 155 lalu berbelok melewati jalan raya kabupaten no. 153 dan tiba di hamparan kebun bawang putih yang sangat luas di Desa Yuanzhang dan Desa Taibao. Petani bawang putih generasi ke-3 yang keluarganya bercocok tanam bawang putih lebih dari 50 tahun, Chang Sha-min mengatakan, “Cita rasa bawang putih Taiwan benar-benar berbeda dengan bawang putih impor, mulai dari metode panen bawang sudah berbeda.”
Chang Ku-jung putra dari Chang Sha-min mengupas bawang putih yang baru saja dipanen sambil menjelaskan, “Bawang putih Taiwan termasuk tanaman yang rapuh, mulai dari bercocok tanam hingga panen, tidak hanya mengandalkan alam tetapi juga harus memerhatikan suhu temperatur.” Sedangkan di Yunlin “semua kondisi sangat pas sekali”, oleh karena itu, produksi bawang putih di Taiwan menduduki lebih dari 70% total produksi bawang putih di Taiwan, cita rasanya cukup unik, beraroma harum, dimakan mentah terasa pedas di mulut, setelah dijemur kering diolah menjadi bawang hitam layaknya manisan buah yang lezat untuk disantap.
Buku penjelasan ramalan Ciamsi dari Kuil Chaotian Beigang cetakan seratusan tahun lalu, sangat berharga, hingga saat ini hanya tersisa satu buah, dan merupakan harta karun yang tanpa sengaja ditemukan dan dibeli oleh Wu Teng-hsing.
Dulunya perkampungan veteran Jianguo adalah markas pelatihan militer Jepang Kamikaze. Setelah pemerintah Nasionalis tiba di Taiwan, bangunan persegi asrama militer Jepang diubah oleh angkatan udara menjadi perkampungan veteran, hingga saat ini tampilan luar dari perkampungan veteran bernuansakan “perpaduan Tiongkok-Jepang”.
Perkampungan Tersembunyi Di Bawah Terik Matahari
Dari jalan raya kabupaten no. 160 melewati Desa Yuanzhang, setelah berbelok melalui jalan raya kabupaten no. 145, maka akan mendapati “jalan tanggul sungai Huwei”, lokasi ini jarang diketahui oleh warga luar daerah. Di bawah pancaran sinar matahari menemani pesepeda bergowes sepanjang sungai Huwei. Perjalanan menuju perkampungan veteran Jianguo tidak terlalu jauh, juga tidak sulit untuk menjangkau tempat ini. Jalan tak bernama yang rindang, merupakan jalan penghubung utama perkampungan veteran Jianguo dengan kawasan luar, kedua sisi sepanjang jalan ditumbuhi dengan pepohonan yang tinggi dan besar.
Bersepeda memasuki jalan rindang mulai terlihat perkampungan veteran Jianguo yang merupakan perkampungan veteran yang dipugar secara bertahap, bagian yang telah direstorasi dialokasikan menjadi lapangan terbuka baru. Perintis Keeping The Culture, Lee Yi-ni yang mendalami budaya perkampungan veteran Huwei selama bertahun-tahun menemani kami sambil menjelaskan, “Awalnya tempat ini adalah lahan pertanian dan pemukiman petani, pada masa pemerintahan kolonial Jepang, lokasi ini ditutupi dengan pepohonan yang rindang, jika dari angkasa melihat ke bawah, akan mengira hanya daerah pedesaan, benar-benar tersembunyi. Oleh karena itu, militer Jepang mendirikan lapangan terbang pelatihan di dekatnya yang difungsikan sebagai pangkalan pelatihan untuk pilot Kamikaze.”
Memasuki desa, kami melewati beberapa asrama hunian pilot berarsitektur gaya Jepang yang memanjang, di samping setiap bangunan dilengkapi dengan tempat perlindungan serangan udara yang menyerupai kura-kura, “Setelah pemerintah Nasionalis datang ke Taiwan, karena tempat ini sangat praktis dekat dengan lapangan terbang, maka tempat ini dijadikan sebagai tempat hunian bagi tentara angkatan udara dan keluarga mereka, kemudian asrama berarsitektur gaya Jepang ini diperluas dan disesuaikan dengan kebutuhan penghuni baru, menjadi perkampungan veteran yang unik dengan gaya ‘perpaduan antara Tiongkok dan Jepang’”, tutur Lee Yi-ni.
Huwei Salon adalah rumah model barat yang dibangun orang Taiwan, mengadopsi model atap tradisional ala Jepang, bangunan model “teikan yoshiki (mahkota kekaisaran” yang trendi pada masa tersebut.
Balai kota, pemadam kebakaran dan kantor polisi semua berada di satu atap “bangunan kompleks” instansi pemerintahan. Pada masa tersebut, menara observasi pemadam kebakaran menjadi bangunan tertinggi, yang dapat menyaksikan panorama seluruh kecamatan Huwei.
Sepenggal Cerita Kuno Berusia Seabad
Dulunya Yunlin Story House adalah rumah kediaman magistrat yang diakui sebagai situs bersejarah tingkat kabupaten. Direktur Departemen Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Yunlin yang menjabat selama 2 periode, Liou Chen-chi tengah mengadakan jamuan teh dan berbincang-bincang dengan perintis Yunlin Storyteller Association sekaligus Direktur Yunlin Story House, Tang Li-fang. Sambil memperkenalkan Liou Chen-chi berkata, “Yunlin Story House milik Tang Li-fang adalah percontohan revitalisasi bangunan tua terbaik yang ada di Yunlin”.
“Kompleks bangunan di seberang merupakan balai kota, pemadam kebakaran dan kantor polisi pada era pemerintah kolonial Jepang, dan ketika memasuki tempat ini kami merasakan aroma buku dan kopi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya nilai pemanfaatan aset budaya yang telah dilestarikan.” Liou Chen-chi menjelaskan, setelah bekerja sama dengan toko buku Eslite dan Starbucks yang mengoperasikan bisnisnya di sini, tanpa mengubah tampilan asli bangunan, menciptakan ruang budaya unik menjadi tempat orang membeli buku, membaca dan minum kopi. “Ditambah lagi Huwei memiliki budaya wayang potehi dan satu-satunya jalur rel kereta Wufen pabrik gula di Taiwan yang masih aktif, dan diintegrasikan dengan bangunan tua sekitarnya dari era yang sama, lalu dialihfungsikan menjadi pujasera, penginapan, toko buku independen dan lainnya, menjadikan Huwei saat ini sebagai pusat kebudayaan penting di Yunlin.” ujar Liou Chen-chi dengan tersenyum puas.
Bersepeda di sekitar gang kecil akan mendapati toko buku independen “Huwei Salon” di dalam bangunan berarsitektur model “teikan yoshiki (mahkota kekaisaran)” yang indah. Ceracapan yang menonjolkan gaya Tiongkok dengan ornamen oriental, kusen jendela yang ditampilkan dengan lengkungan bulat model Arab, sedangkan bagian atap mengadopsi puncak atap arsitektur Dinasti Tang, model bangunan ini sesuai dengan namanya, bangunan ini seolah-olah mengenakan mahkota.
Pemilik Salon, Helen Wang sangat menyukai buku, gemar membaca, dan sangat peduli dengan perkembangan budaya lokal di Yunlin, ia berharap dapat mendorong orang-orang untuk aktif berpikir sendiri. Rak-rak buku di koridor salon berisikan buku bacaan yang ia pilih sendiri, ia juga kerap kali mengadakan seminar budaya dan ruangan ini terkenal dengan toleransi dan keterbukaannya.
Liou Chen-chi (kiri) beranggapan cara yang paling bermakna adalah pertukaran seni budaya melalui Yunlin Story House milik Tang Li-fang (kanan), bangunan tua masa pemerintah kolonial Jepang kini mendapat suntikan jiwa baru.
Karena cinta, Liao Rui-sheng bersikeras mengembangkan pertanian organik, hingga saat ini, ia harus memeriksa setiap tanaman di rumah kaca setiap hari, ia merawat tanaman dengan tulus dan penuh cinta.
Segalanya Demi Cinta
Sebelum senja, kami bersepeda menelusuri jalan raya kabupaten no. 145, mengunjungi pemilik “Pertanian Organik Huaxing”, Liao Rui-sheng yang juga menjabat sebagai ketua pemasaran sayuran Xiluo tim 47. Liao Rui-sheng membangun laboratorium uji pestisida di gudang pertanian miliknya, setiap kelompok sayuran berdaun hijau akan menjalani pengujian residu pestisida secara acak, lalu laporan pemeriksaan ini akan disampaikan kepada pemerintah. Ketika ditanyai apa alasannya, Liao Rui-sheng tanpa ragu-ragu menjawab, “Saya adalah orang Yunlin, sangat mencintai semua yang ada di Yunlin. Jika tidak mengembangkan metode pertanian organik, dan menggunakan pestisida beracun maka apa yang akan terjadi pada tanah? Bagaimana dengan sumber air? Bagaimana dengan nasib kampung halaman saya?”
Upaya keras Liao Rui-sheng membuahkan hasil, hasil pertanian organik yang dikerjakannya bersama tim 47 terpilih menjadi pemasok makan siang di sekolah dasar dan sekolah menengah di 6 kota utama di Taiwan, “Ini adalah sayuran yang ditanami dengan hati yang tulus dan penuh kasih, dengan harapan menjadi makanan sehat bagi setiap orang.”
Kami terus mengayuh sepeda hingga tiba di Xilou, menjadi tempat singgah kami yang terakhir, di tempat ini dijuluki sebagai “desa penghasil kecap”.
Yang membuat kami tertarik adalah warisan dari kakek sampai generasi ke-3, hingga saat ini tetap bersikeras mengolah kecap dengan cara manual, menggunakan kayu bakar untuk proses pembuatan kecap merek tua “Yu-Ding-Shing”, kini dikelola oleh dua bersaudara generasi ke-3 yaitu Hsieh Yi-chen dan Hsieh Yi-che. Atas dasar cinta mereka terhadap produk perusahaan keluarga, mereka membuka jalan baru dengan mengembangkan “estetika kecap” pada proses pembuatannya, mempromosikan kecap “Yu-Ding-Shing” go-internasional dan dipasarkan ke New York, Amerika Serikat. Melalui konsep masakan kreatif dan dengan bahan dasar kecap “Yu-Ding-Shing” dikombinasikan dengan bahan makanan yang berbeda untuk menyajikan cita rasa yang berbeda.
Kedua kakak adik membuka salah satu tong kecap di halaman, membuat lebah-lebah yang ada di sekitarnya mencium “aroma wangi” langsung meninggalkan tanaman bunga, datang menghampiri dan terbang mengitari tong. Hsieh Yi-che sambil tertawa berkata, “Setiap kali membuka tong, selalu demikian.” Hsieh Yi-cheng menyalakan api di tempat pembakaran, membutuhkan pengalaman untuk mengamati panasnya bara api, mengaduk-aduk tong dengan sendok besi besar yang panjangnya setinggi manusia, memerlukan dua tangan untuk memegang sendok besar tersebut, seiring dengan suhu kecap yang kian memanas, dan aroma yang ditebarkan sungguh memikat.
Menelusuri lahan pertanian dan rekam jejak budaya, bagaikan menggunakan sebatang pena berwarna dengan bebas menggambar selembar peta dataran Yunlin yang indah, menghimpun kesederhanaan, budaya, rasa kemanusiaan dan cita rasa dari desa pertanian.
Dua bersaudara bermarga Hsieh pemilik Yu-Ding-Shing generasi ke-3, melalui cara pemasaran kreatif dan konsep berbagi makanan, menciptakan “estetika kecap” yang membuat kecap Yu-Ding-Shing semakin menonjol diantara merek kecap tua lainnya.