Teach For Taiwan
Daya Mengentaskan Pendidikan di Daerah Terpencil
Penulis‧Chen Chun-fang / Smalleyes Photography Foto‧Fu Yu-cheng Penerjemah‧Maria Sukamto
Februari 2021
當貧富不均、城鄉差距等議題讓社會瀰漫低迷的氛圍時,有群年輕人選擇收起抱怨,進入問題的核心。他們擁有令人稱羨的學歷,但他們選擇投入偏鄉教育,陪伴孩子。因為他們相信,「Teach for Taiwan,為台灣而教」會是改變社會的契機。
Pada saat masyarakat terusik oleh isu ketimpangan antara si kaya dan miskin, kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan, ada sekelompok kawula muda memilih terjun menangani masalah daripada berkeluh kesah. Walau berlatar belakang pendidikan tinggi piawai, mereka rela terjun ke dunia pendidikan di daerah terpencil, menemani anak-anak. Sebab mereka yakin, “Teach for Taiwan, Mengajar Demi Taiwan” akan menjadi semangat mengubah kesenjangan dalam masyarakat.
Ada sebuah kios dalam Campus Job Fair yang dikerumuni banyak orang, jangan salah sangka, itu bukan kios perusahaan internasional yang sedang membuka lowongan kerja, melainkan kios merekrut calon guru untuk mengajar di daerah terpencil.
Kawula muda menabur cinta di pedesaan, mengusung anak-anak melihat masa depan yang gemilang.
Pendidikan Itu Misi Generasional
Pemandangan seperti itu terjadi setiap tahun di kampus di mana badan nirlaba “Teach For Taiwan” (selanjutnya disingkat sebagai TFT) sedang merekrut tenaga pengajar.
Mengentaskan ketimpangan pendidikan adalah misi TFT yang dibentuk pada 2013. Masyarakat sering terkelabui oleh berita pers tentang guru keliling, mengira pasokan guru melebihi kebutuhan. Tetapi kenyataannya, sekolah-sekolah di daerah terpencil sering tidak mendapatkan guru sama sekali. Setiap anak seharusnya memiliki hak pendidikan yang setara, tetapi lokasi di mana anak tersebut dilahirkan terkadang menentukan kualitas pendidikan yang diperolehnya. Hal ini akan mempersulit sang anak mengubah garis tangan. Yang akhirnya hanya akan memperbesar jurang kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, serta memperlebar jarak antara kehidupan pedesaan dengan perkotaan.
Pada tahun 2012, Pendiri TFT Liu An-ting saat itu sedang bekerja di Amerika Serikat, dari orang tuanya ia mengetahui kondisi pendidikan di daerah pedesaan terpencil Taiwan, dan ia mengajukan “Teach For America, Mengajar Demi Amerika” sebagai contoh, yaitu sebuah organisasi yang setiap tahun merekrut para lulusan cum laude perguruan tinggi untuk mengajar di daerah minor. Seperti menemukan oasis, Liu An-ting dan orang tuanya menggalang impian membentuk TFT dalam pembicaraan telepon lintas benua ketika itu.
Mulailah Liu An-ting mencari pelbagai cara menghubungi TFA, begitu pula ayah dan ibu Liu di Taiwan mengontak individu dan organisasi yang peduli pada pendidikan perdesaan, setelah mengarungi beberapa waktu untuk mengkaji, akhirnya kerangka TFT terlukis. Liu semula menempatkan diri hanya sebagai konsultan membuatkan rancangan saja, tetapi semakin ia geluti, hatinya semakin tertambat pada daerah pedesaan yang terpencil di Taiwan.
Dalam bukunya yang berjudul “Leaving for Home”, Liu An-ting menuliskan, “Pada akhirnya, mengapa membentuk TFT? Tidak hanya demi pengentasan daerah terpencil, melainkan untuk mengubah generasi kita, agar tidak mengkritik, tapi terjun menanganinya sendiri, menjadi pemrakarsa atas perubahan itu.”
Lingkaran Sunset sebelum pulang sekolah, adalah saat guru dan siswa SD Zheng Min memupuk budi pekerti yang baik.
Tinggalkan Kenyamanan Hidup Demi Mengejar Kesuksesan Lain
Liu An-ting melanjutkan studi di Universitas Princeton AS dengan beasiswa penuh pada 2008, ia mengarungi hari-hari yang penuh tantangan dengan jatuh bangun, akhirnya ia lulus dengan meraih penghargaan the Woodrow Wilson Senior Thesis Prize, dan bisa segera bekerja di sebuah perusahaan konsultan ternama. Liu An-ting mengakui dirinya sejak kecil dibesarkan dalam dunia dengan arus utama kesuksesan. Sampai akhirnya mengajar di Ghana dan Haiti, ia baru menyadari bahwa kemakmuran hidup yang sesungguhnya bukan datang dari popularitas dan kekayaan, melainkan ada dalam pendidikan dan hubungan antar sesama. Menjadi pendengar dan pendamping untuk orang lain adalah hal yang paling bernilai.
Maka ia pun meninggalkan jenjang karier yang digalang di AS, kembali ke Taiwan memperbarui pendidikan. Mungkin saja tekad Liu An-ting inilah yang menjadi suatu daya tarik bagi banyak kawula muda piawai seperti dirinya. Menelusuri daftar nama CV tim eksekutif dan tenaga guru TFT, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi ternama. Mereka mempunyai banyak pilihan untuk mengejar masa depan, tapi karena sependapat dengan misi TFT, mereka mengkaji kembali makna nilai keberhasilan, dan bahu membahu membangun sistem pendidikan masa depan.
Merekrut Guru Pemerhati
TFT membuat sistem seleksi ketat, meski begitu besar permintaan tenaga guru untuk daerah terpencil. Menjadi pengajar harus melewati tiga tahapan, yakni seleksi secara tertulis, wawancara online dan wawancara tatap muka. Untuk ujian tatap muka langsung, terbagi menjadi praktik mengajar perkelompok dan wawancara kerja.
Mengajar di daerah terpencil tidak terbatas dalam ruang kelas saja, tapi sekolah, rumah tangga dan komunitas, semua menjadi tantangan yang harus dihadapi guru. Untuk itu TFT membuat patokan baru untuk proyek pengajarannya, selain harus berkemampuan mengajar, guru juga harus bisa mengatasi masalah, berkesadaran mandiri, bisa mengatasi kendala, bisa berkomunikasi, dan menjadi pemimpin. Dengan standar persyaratan seperti ini, perekrutan dari tahap I-V, TFT telah menerima lebih dari 1.700 lembar surat lamaran kerja, tapi baru berhasil mengerahkan 120 guru TFT ke 38 daerah pedesaan terpencil, persentase perekrutan di bawah 10%.
Setelah lulus seleksi, para guru harus melewati pelatihan intensif selama 6 pekan, dan harus lolos dalam praktik belajar di pekan terakhir.
SD Zheng-Min Bersemangat TFT
SD Zheng Min di Yunlin, 90% gurunya mendapatkan pelatihan TFT, bisa dikatakan sebagai sekolah yang menerapkan semangat TFT. Merekrut sekelompok guru yang bermisi meningkatkan karakter dan daya pembelajaran murid, semua kurikulum dirancang demi meningkatkan kemampuan swabelajar para siswa. SD Zheng Min yang pada awalnya hampir tutup, kini berubah menjadi sekolah favorit rebutan di komunitasnya.
SD Zheng Min mempunyai sistem pekan evaluasi yang unik, tidak menilai hasil ulangan perbulan, tapi berdasarkan tes pratikum dan tertulis rancangan setiap guru, agar para siswa menjiwai apa yang telah dipelajari.
Hasil evaluasi terakhir tidak hanya berupa angka, tapi termasuk deskripsi penilaian guru terhadap proses pembelajaran siswa. Sung Wan-jung mantan guru TFT angkatan kedua dan sekarang menjabat sebagai kepala Tata Usaha SD Zheng Min mengatakan, “Ulangan bukan untuk melihat angka raihan siswa, melainkan untuk mengevaluasi sampai di mana pengertian mereka dan kami bantu bagian yang masih kurang.” Hal ini membutuhkan perhatian besar dari guru yang setiap saat mengatur kembali langkah pengajaran sesuai dengan kondisi murid, akan sulit tercapai jika tanpa kesepakatan tekad bersama semua guru.
Bagaimana mengajarkan budi pekerti? Memanfaatkan lingkungan di SD Zheng Min, setiap hari menjelang pulang sekolah, guru mengajak para siswa duduk membentuk Lingkaran Sunset, guru akan bercerita tentang apa yang telah dilihat dari kelakuan baik sang siswa di hari itu, ia juga mendorong para siswa bercerita akan tindakan positif teman kelas terhadapnya. Selain itu masih ada saat “Celah Waktu” yaitu jika ada siswa telah bertindak sesuatu yang meningkatkan budi pekertinya, di saat itu juga, guru segera memberitahukan kepada sang siswa. Guru tidak hanya mengajar tapi juga bertindak, agar berbudi pekerti baik menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kesempatan Berubah
Ada di Luar Kelas
Pengalaman seorang guru TFT yang mengajar di sebuah SD desa Xinpi Pingtung, ia sudah menerapkan berbagai cara agar para siswa tertarik untuk belajar bahasa Inggris, tapi gagal terus. Sampai suatu saat ia mengajar kelas kursus bahasa Inggris untuk manula di malam hari, cucu diajak para manula ikut ke kursus. Keadaan rumah tangga di daerah itu adalah anak-anak dibesarkan oleh kakek dan nenek, sehingga mereka juga berperan sebagai orang tua, karena cucu tidak ada yang menjaga, maka dibawa serta ke kursus.
Tampaknya sangat di luar dugaan alasan antusiasme belajar bahasa Inggris para kakek dan nenek ini, misalnya karena mereka ingin belajar membaca tulisan abjad di plat mobil yang melakukan tabrak lari, atau ukuran ketika membeli pakaian, untuk semua ini guru harus merancang program pembelajaran. Lambat laun, anak-anak menyadari bahasa Inggris kakek dan neneknya lebih baik dari mereka, orang tua lebih percaya diri dalam berdialog dengan anak-anaknya. Anak-anak yang datang bersama itu semula suka bermain di belakang ruang kelas, akhirnya inisiatif sendiri masuk kelas ikut kursus, bahkan kadang mereka beradu kepandaian berbahasa Inggris di kelas. Inilah titik terang yang mulai dialami guru TFT tersebut setelah berupaya selama setahun di daerah pedesaan terpencil.
Gelora Api Pembaruan
Para guru yang berperan serta dalam proyek TFT setelah terjun mengajar di daerah terpencil menemukan masalah di daerah masing-masing, ada yang memilih untuk tetap berada di sana sebagai guru, atau membantu pengembangan komunitas, ada pula yang seperti Wu Jia-hui alumni angkatan I, ia membentuk “Asosiasi There-for-Ed”, yang memusatkan perhatian pada penyusunan materi pengajaran bahasa Inggris yang sesuai dengan kebutuhan lokal, menjadi pendukung para guru di pedesaan terpencil.
Kepala Humas TFT Chung Ai-ling mengatakan, ada seorang kepala administrasi sekolah tidak begitu menyukai guru TFT yang datang mengajar, mengira keantusiasannya itu adalah untuk pembaruan, tetapi selang beberapa waktu, ia merasakan ketulusan guru itu, dan ia seperti melihat dirinya sendiri ketika ia masih menjadi seorang guru praktik. Melalui para guru, TFT berharap bisa berbuat lebih banyak demi pendidikan di Taiwan.
Seorang berlari dengan cepat, sekelompok orang berjalan lebih jauh. Teach For Taiwan bukan hanya sebuah nama organisasi saja, melainkan sebuah misi yang bisa dikecap bersama oleh suatu generasi.