Menerjang Angin Memandang Lautan Mengejar Matahari Terbenam
Perjalanan Jalur Pesisir Pantai Miaoli
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Chuang Kung-ju
Agustus 2019
故事可追溯到1922年,鐵道海線通車了,運輸南來北往的物資,也帶起沿線城鎮的繁榮。但隨著高速公路開通,鐵路貨運為公路取代,海線榮景不再;但列車依舊奔馳在稻穗與浪花間,獨留的幾座近百年的木造車站則成為鐵道文化珍貴的記憶空間。
苗栗的海線風光還不僅於此,白沙屯的拱天宮媽祖廟,還有苑裡的返鄉青年「掀海風」,都是一路上美麗的風景。
以海線為軸,以自行車的速度和自由,隨興追著火車,我們騎行在台61號線,一探苗栗海線的故事。
Mengilas balik tahun 1922, saat rel kereta api di pesisir pantai resmi dibuka untuk jalur lalu lintas, mengangkut produk-produk dari selatan ke utara, membawa kemakmuran bagi kota-kota yang terletak di sepanjang rel tersebut. Tetapi, seiring dengan diresmikannya jalan tol, transportasi kereta api mulai tergantikan, kejayaan di kawasan pesisir pun tenggelam. Namun, gerbong kereta masih beroperasi melewati ladang sawah dan pekarangan bunga. Beberapa stasiun kereta yang terbuat dari kayu, kini telah berusia 100 tahun. Ia pun menjadi ruang berharga bagi kenangan dan budaya perkeretaapian
Panorama di pesisir pantai Miaoli tidak hanya ini, masih ada Kuil Gong Tian di Baishatun, yang dipersembahkan bagi Dewi Mazu dan pergelaran menyambutnya kembali muda-mudi “Hi Home Festival” di Yuanli. Semua ini adalah bagian dari indahnya pemandangan di sepanjang jalan.
Menelusuri jalur di pesisir pantai, dengan kecepatan sepeda yang dikayuh serta diiringi rasa penuh kebebasan, mengejar kereta api yang melaju. Kami melintasi Provincial Highway 61, menjelajahi kisah di sepanjang jalur pesisir pantai Miaoli.
Jalur gunung dan pesisir pantai Taiwan Railways Administration (TRA) menawarkan pemandangan memikat tiada tara. 5 stasiun kereta api yang terbuat dari kayu dengan arsitektur bergaya Jepang, disebut oleh para pencinta kereta api sebagai “5 permata di pesisir pantai”. Dan 3 di antaranya terletak di Miaoli; masing-masing Stasiun Tanwen, Dashan dan Xinpu.
Menjelajahi Kereta Api di Sepanjang Jalur Pesisir Pantai
Perjalanan ini dimulai dari Stasiun Tanwen, melewati Dashan dan Xinpu.
Stasiun-stasiun sederhana dan bersahaja ini dibuka pada tahun 1922, kini usianya sudah mencapai seratus tahun. Stasiun dibangun dengan menggunakan kayu cunninghamia, memiliki beberapa karakteristik utama; di antaranya atap segitiga, pilar berbentuk Y, jendela berdesain oeil-de-boeuf, dan rammed-earth walls. Karena volume angkutan yang kian menipis, fungsi stasiun pesisir pantai pun turut menurun dan perkembangan di sekitarnya terhenti. Meski demikian, bentuk asli tempat ini masih terawat hingga sekarang. Bangunan sejarah ini menjadi saksi dari proses pendirian jalur kereta api pesisir pantai.
Perjalanan di sepanjang Provincial Highway 61 terus dilanjutkan. Pecinta kereta api dapat saling berbagi informasi. Pemandangan di kedua sisi tidak boleh terlewatkan, terutama bagi penggemar fotografi. Jalan kecil yang terletak di samping Provincial Highway 61 KM 106.3, merupakan muara sungai Xihu. Muara ini menawarkan panorama menawan; seperti kincir angin, kereta api dan deburan ombak. Menjelang petang, pemandangan kian menarik dengan suguhan matahari terbenam.
Untuk mencapai objek indah berikutnya, perjalanan dilanjutkan dengan melintasi Miaoli County Road 33 menuju ke ketinggian Tanjung Harapan (Haowangjiao). Dari sini, panorama memukau dari birunya Selat Taiwan dan kokohnya kincir angin di pesisir pantai, memberikan kesan tersendiri. Di tengah embusan angin nan kencang, sembari menunggu datangnya laju kereta di antara ladang hijau, tak lupa mendokumentasikan kawasan sekitar, yang kian melengkapi perjalanan ini.
Selain itu, Terowongan Tua Guogang yang terletak di area sekitar, layak dikunjungi. Pada tahun 1970-an, saat memasuki era elektrifikasi jalur kereta api, 3 terowongan pun mulai ditinggalkan. Kini terowongan beralih fungsi menjadi jalur sepeda, dan telah dilengkapi dengan pencahayaan memadai. Selain itu, terowongan yang masih menggunakan konsep melengkung ini, dihiasi dengan susunan batu bata merah menawan yang menyerupai tapal kuda.
Panorama Senja di Restoran Kereta Api - Shi Lian Yuan
Melintasi Provincial Highway 61, menelusuri jalan kecil di pesisir pantai, hingga menuju ke Restoran Kereta Api, Shi Lian Yuan. Restoran ini telah beroperasi selama 17 tahun, memiliki daya tarik khusus di jalur pesisir pantai. Gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai, dirancang sedemikian rupa menjadi ruang-ruang berguna; misalnya restoran dan penginapan.
Luo Shi-lian, pemilik restoran yang bermukim di Baishatun ini, berhasil lulus ujian masuk bekerja di TRA pada tahun 1970 silam. Luo Shi-lian pun sempat menyaksikan hari-hari dimana kereta api uap masih melintasi jalur sekitar. Setiap harinya, ia naik kereta api untuk berangkat dan pulang kerja. Tanpa terasa, Luo Shi-lian pun sudah 33 tahun bekerja di Biro Kereta Api.
Dulu, ia sempat melakukan perjalanan dinas survei ke India dan merasakan pengalaman menaiki kereta api lokal, dengan gerbong sleeper car. Ini adalah pengalaman baru dan menarik, yang tidak pernah dirasakannya di Taiwan. Luo Shi-lian berpikir, “Setelah pensiun, tidak ada salahnya memodifikasi 2 gerbong kereta menjadi restoran dan penginapan”.
Di kala itu, Luo Shi-lian membeli 5 gerbong kereta dengan total berat 30 ton dan harga sebesar NT$ 1,2/KG. Ia merogoh kocek sebanyak NT$ 1 juta. Jumlah ini belum termasuk biaya pengiriman gerbong. Ia memindahkan gerbong kereta dari Kaohsiung menuju Miaoli, dengan menghabiskan waktu selama 2 malam. Dikarenakan fisik gerbong kereta yang terlampau tinggi dan panjang, membuat proses pengangkutan harus dilaksanakan pada malam hari, dengan melalui jalan umum. Saat hendak lewat jalur perlintasan jalan raya dan rel kereta api, Luo Shi-lian harus mengajukan permohonan pemadaman arus listrik, yaitu dengan menaikkan kabel listrik, sehingga truk dapat melintas dengan sempurna. Untuk memindahkan gerbong kereta ke atas rel, ia pun harus menyewa 2 mobil derek (crane) yang mampu mengangkat beban sebesar 50 ton.
Hingga hari ini, restoran kereta api masih mampu menarik antusias para wisatawan. Pemandangan birunya laut dan panorama matahari terbenam, dapat disaksikan dengan sempurna dari tempat ini, sehingga menjadi favorit pertama bagi penikmat panorama laut.
Kuil Gong Tian Baishatun Interaksi Dewi Mazu dengan Umatnya
Saat berkunjung ke jalur pesisir laut, jangan lupa bertandang ke Kuil Gong Tian Baishatun yang terletak di Miaoli. Perayaan ulang tahun Dewi Mazu yang jatuh setiap bulan tiga (kalender imlek), akan menarik para umat yang tersebar di seluruh penjuru negeri, untuk bergabung dalam prosesi arak-arakan menuju Kuil Chao Tian di Beigang Yunlin. Prosesi arak-arakan tersebut memiliki total perjalanan lebih dari 400 KM. Yang menarik adalah tikungan dan belokan yang mengiringi perjalanan, sepenuhnya bergantung kepada petunjuk Dewi Mazu.
Anggota Kuil Gong Tian, Lin Xing-fu menjelaskan, karakteristik ini dapat bertahan dikarenakan “Baishatun terlampau mempertahankan nilai konservatif, yang pada akhirnya menggoreskan ciri khas tersendiri”. Dahulu kala, para pemeluk kepercayaan memiliki tradisi melaksanakan prosesi arak-arakan dengan berjalan kaki. Namun seiring kemajuan zaman, pada saat umat lainnya mulai berubah datang dengan naik bus wisata, tapi hanya Kuil Gong Tian Baishatun yang masih memegang teguh tradisi, yaitu tetap berjalan kaki. Setiap kali berlangsung, rute dari arak-arakan ini akan bervariasi. Hal ini menjadi simbol eratnya kedekatan Dewi Mazu dengan warga setempat. Mazu di Baishatun ini secara inisiatif mencari para pengikutnya. Tidak heran, jika setiap kali prosesi arak-arakan berlangsung, akan ada banyak kisah mengharukan yang muncul di tengah-tengah mereka.
Dewi Mazu di Kuil Gong Tian memiliki banyak kisah beragam dan inspiratif. Ragam kisah seperti tertukarnya Dewi Mazu dan bagaimana tandu sang Dewi menyeberangi sungai Zhuoshui, menjadi cerita dari mulut ke mulut warga setempat. “Kepercayaan rakyat sebenarnya mencerminkan gaya hidup masyarakat setempat”, demikian Lin Xing-fu menafsirkan cerita-cerita tersebut dari perspektif berbeda, yang berdasarkan ketergantungan pada Dewi Mazu. Kehidupan warga pendahulu di Baishatun tidaklah mudah, di tengah embusan angin monsun timur laut yang terjadi di musim gugur dan dingin, membuat keseharian kian susah dan tidak pasti. Hal-hal demikian semakin memperdalam rasa ketergantungan warga setempat atas Dewi Mazu. “Dikarenakan harus menghadapi banyak unsur ketidakpastian setiap harinya, sehingga prosesi arak-arakan Baishatun Mazu masih mempertahankan cara yang sama hingga hari ini”, lanjut Lin Xing-fu.
Perjalanan ke Miaoli kali ini, tidak sengaja berlangsung di musim dingin. Tahun ini merupakan musim dingin yang hangat. Meskipun demikian, kekuatan dari hembusan angin monsun timur laut di kawasan pesisir pantai tetap tidak tertandingi. Hembusannya membuat kepala dan badan tidak mampu berdiri tegak. Sambil tertawa, Ling Xing-fu berkata kami telah memilih hari yang salah. Namun, melalui penelusuran kali ini, kami baru mengetahui bahwa kehidupan warga setempat memang tidaklah mudah.
Bercakap dengan Ling Xing-fu bagai tengah melangsungkan pengamatan sosiologis, dan sekaligus membenarkan bahwa budaya merupakan tugas pembelajaran manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar, yang menjadi bagian tidak terduga dalam perjalanan kali ini.
Hi Home Festival Penyambung Manusia dan Kampung Halaman
Mengarah ke selatan, perjalanan dilanjutkan menuju selatan Miaoli, dan merupakan pemberhentian akhir dari perjalanan ini, yakni kawasan Yuanli. Masuk ke Xinxing Road, kami akan berkunjung ke toko buku Hi Home, yang dibuka pada bulan Agustus tahun 2018 silam. Toko ini adalah markas basis dari tim kerja “Say Hi Home”, Yuanli.
Ruang kerja “Say Hi Home” didirikan oleh Liu Yu-yu dan Lin Hsiu-peng, keduanya lahir di tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka bertemu di saat gerakan sosial menentang turbin angin di Yuanli berlangsung. Setelah turut andil dalam beberapa gerakan sosial, timbul pemikiran “Jika ingin menyukseskan gerakan (sosial), protes hanyalah fase sementara. Jika ingin membuat kehidupan masyarakat beralih ke arah yang lebih baik, maka kembali ke tanah kelahiran merupakan akar yang mendasar”. Oleh karena itu, mereka pun langsung merasakan sendiri, dari yang awalnya menentang, kini mereka kembali pulang. “Awalnya, melalui gerakan sosial kami menentang, pada akhirnya kami pun memilih untuk kembali ke tanah kelahiran, yang menjadi kampung halaman sendiri”, tutur Lin Hsiu-peng.
Bermula dari interaksi, merajut kembali hubungan antar manusia dengan kampung halamannya. Ini menjadi langkah perdana “Say Hi Home”, yang merupakan awal dari pemahaman Yuanli yang baru. Mereka menjalankan observasi lapangan di jalan-jalan / gang-gang, membantu para petani menyelesaikan problem kekurangan tenaga kerja dan bagaimana menjual produk mereka. Selain itu, juga mencoba untuk menemukan kembali industri anyaman gulma, yang sebelumnya sempat jaya di Yuanli.
Di tahun 2015, tim “Say Hi Home” mengubah hasil penelitian mereka menjadi serangkai perjalanan singkat, mengajak orang-orang melihat toko yang menjual topi-tikar di Jalan Tua Tianxia dan menyaksikan pasar tua yang memiliki sejarah 120 tahun atau berkunjung ke pemukiman sosok pionir musik rakyat Taiwan, Kuo Chih-yuan. Tahun 2016, menerbitkan laporan perihal rutinitas sehari-hari, yang kembali menghimpun kenangan akan budaya setempat. Tahun 2017, menggelar “Hi Home Festival”. “Ucapkan Hai kepada kampung halaman”, menjadi semangat utama dalam pergelaran festival ini. Mereka berusaha mengembalikan keramaian di masa lalu, dengan mendirikan panggung di depan Kuil Mazu dan menyajikan pertunjukan musik yang menggunakan bahasa ibu. Dengan harapan, para perantau dapat merasakan perbedaan dari Yuanli, saat mereka pulang ke kampung halaman.
Tahun 2018, toko buku Hi Home didirikan.
“Setelah sekian lama mempromosikan rangkaian kegiatan, saya merasa ini semua harus kembali ke anak-anak setempat. Sebenarnya, akar dari budaya adalah ‘pendidikan’. Jika kurang mengenal diri sendiri, maka Anda tidak dapat memiliki rasa percaya diri. Percaya diri selain datang dari pemahaman akan kampung halaman, juga merupakan bagian pengenalan terhadap diri sendiri. Jadi ‘membaca’ adalah hal yang sangat penting”, ujar Lin Hsiu-peng. Itulah alasan mengapa Hi Home tetap didirikan, di tengah surutnya bisnis toko buku saat ini.
Toko buku telah beroperasi. Orang tua yang kebetulan tinggal di sekitar area, merasa sangat senang. Sinar lampu dari toko buku, ibarat pendamping di tengah sunyinya malam. Dan ketika toko buku diam-diam menanamkan benih di dalam diri anak-anak, kami terus berharap eksistensinya dapat terus bertahan, meski diterjang oleh embusan angin.
Dulu, pesisir pantai dikenal sebagai kawasan yang miskin nan lemah, tidak memiliki modal ekonomi dan minim sumber budaya. Namun, setelah mendengar kisah “Say Hi Home”, dan sekelompok pemuda telah kembali. Bagaimana mereka yang awalnya pasif, kini beranjak aktif mengubah haluan, maka melalui momentum perjalanan kali ini, kita belajar untuk terus bergerak maju, meski diterpa tiupan angin nan kencang.