Daun Maple Merah Sejauh Mata Memandang
Bersepeda Menjelajahi Pegunungan Taiwan
Penulis‧Esther Tseng Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Yunus Hendry
Oktober 2020
騎行宜蘭至梨山的台七甲線,翻過思源埡口後,便是從宜蘭進入了台中,從46K還淋著大雨,又溼又冷。往前踩踏到49K,卻是晴空萬里,從冷風刺骨到風和日暖,短短不到十分鐘,人生的經歷也不過如此劇烈!
Bersepeda dari Yilan ke Lishan di Provincial Highway 7A dan setelah melewati Siyuan Pass, kami pun memasuki kawasan Taichung dari Yilan. Hujan lebat mengguyur dari kilometer 46, suhu menjadi lembap dan dingin. Setelah tiba di kilometer 49, langit cerah pun menyambut kami. Dari yang awalnya dingin menusuk tulang hingga pancaran matahari yang menghangatkan, semuanya terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Perjalanan kali ini bagai mengarungi bahtera kehidupan yang penuh gejolak.
“Bersepeda Menjelajahi Taiwan” kali ini dimulai dari Desa Datong, Kabupaten Yilan yang terletak di jalan Provincial Highway 7A. Perjalanan ini ditemani hangatnya matahari musim dingin, air jernih di pegunungan hijau dan Sungai Lanyang yang luas. Setelah mengayuh sekitar 2 kilometer, tanpa terasa tibalah di lokasi yang menjadi pusat berkumpulnya pohon-pohon tua terbesar di Benua Asia, yaitu Area Hutan Gunung Qilan (Qilan Forest Recreation Area).
Pohon Tua Qilan Berselimut Angin dan Kabut
Area hutan Gunung Qilan terletak di bagian utara barisan pegunungan Xueshan. Kawasan ini dihuni oleh pohon cemara asli Taiwan (Chamaecyparis Obtusa Var. Formosana), yang luasnya melebihi 15.000 hektar. Kementerian Kebudayaan (MOC) telah mendaftarkan area ini sebagai poin potensial warisan dunia Taiwan, serta objek wisata yang wajib didatangi saat berada di Provincial Highway 7A. Guna memperkecil jarak antar masyarakat dengan area hutan, Veterans Affairs Council mengubah jalan yang dulunya berfungsi sebagai jalur mengangkut kayu, menjadi rute mendaki gunung. Dengan daya imajinasi tinggi, ratusan pohon cemara asli Taiwan dan pohon cemara merah Taiwan (Chamaecyparis formosensis) yang telah berusia ribuan tahun, diberi sebutan sesuai dengan nama orang bijak atau tokoh sejarah. Nama-nama tersebut dibubuhkan dan disesuaikan dengan usia pohon, untuk menambah kesan mendalam bagi wisatawan.
Setelah menaiki anak tangga, kami pun tiba di dekat pohon tua yang usianya sudah melebihi 2.500 tahun. Pohon cemara merah Taiwan ini diberi nama “Confucius”, karena ia mulai bertunas di era kelahiran sang Guru Confucius. Kebetulan di depan pohon Confucius juga terdapat tumbuhan rambat Hydrangea Integrifolia, yang ramping serta menjalar, seakan-akan menyerupai “tongkat sang tuan”. Di area tersebut juga terdapat sebatang pohon cemara merah dengan garis lingkar 20 meter. Namun karena ditumbuhi benjolan, pohon tersebut seolah-olah memiliki 2 kaki yang terbuka. Mengingat tunas pohon tersebut tumbuh di era Kaisar Jing (157-141 SM) Dinasti Han, maka diberi nama Sima Qian, nama seorang sejarawan yang menerima hukuman dari kerajaan karena membela Jenderal Li Ling.
Kawasan ini merupakan area berkabut yang paling lembap di Taiwan. Pohon-pohon tua tersebut diselimuti aneka jenis lumut dan lumut kerak, membuat suatu nuansa yang sangat indah. Ukuran dan bentuk kotoran hewan yang berbeda-beda yang ditemui di jalan setapak, bisa menandakan hewan apa yang lewat di situ yaitu kijang muncak atau kambing hutan. Pohon sassafras yang langka, merupakan makanan favorit dari spesies kupu-kupu berekor lebar Papilio Maraho. Kupu-kupu yang hanya hidup di Taiwan ini, bermukim di tengah hutan yang eksotis, dan hidup berdampingan dengan hutan laurel dan taiga. Lingkungan habitat yang beraneka ragam dengan vegetasi yang komprehensif, membuat perjalanan berdurasi dua jam terasa sangat singkat.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Setelah tiba di kilometer 23, kami disambut dengan hujan rintik-rintik dan untaian tikungan tajam yang meliuk-liuk, serta harus menghindari truk pengangkut sayur kubis yang meluncur turun ke kaki gunung. Sungguh suatu perjalanan yang menguji ketangkasan dan kekuatan fisik.
Setelah istirahat sejenak di Qalang Skikun yang terletak di perkampungan Suku Atayal, kami pun bertemu dengan Eddie Chen yaitu penulis buku “At Its Most Beautiful from a Bicycle”. Eddie Chen tengah membawa 3 warga asing yaitu Ethan dan Ganot dari Israel, serta Atsushi Haruta dari Jepang, yang secara khusus datang ke Taiwan untuk bersepeda dan mendaki gunung. Mereka bersepeda dari Taipei menuju area Wuling - Taichung, yang berada di atas ketinggian 3.725 meter. Penjelajahan yang memakan waktu 3 hari tersebut, diselingi dengan pendakian di jalur setapak Danau Cuifeng, Gunung Taiping dan puncak timur Gunung Hehuan.
Eddie Chen menyampaikan, warga asing yang secara khusus datang ke Taiwan untuk bersepeda, dapat menyaksikan indahnya panorama gunung dan laut dari jalur pesisir pantai. Namun demikian, mengayuh di ketinggian gunung menjadi tantangan tersendiri dan merupakan satu peluang untuk merasakan keanggunan Taiwan.
Melihat para pakar pengendara sepeda melaju di atas Provincial Highway 7A, memberikan kami semangat untuk terus menanjak. Setibanya kami di perkampungan Pyanan yang terletak di kilometer 29, waktu telah menunjukkan pukul 09:00 pagi. Area tersebut telah diselimuti kabut tebal dan di sepanjang jalan terdapat hamparan kebun kubis, yang merupakan area produksi sayuran terbesar untuk zona bersuhu rendah di Taiwan.
Perjalanan ke atas diselingi dengan kelokan dan tanjakan yang memeras kekuatan fisik dan semangat kami. Kayuhan sepeda kami semakin melambat dengan nafas yang terengah-engah, akhirnya kami tiba di Siyuan Pass yang terletak di kilometer 46 - Provincial Highway 7A, yang menjadi pemisah daerah aliran Sungai Lanyang dan Sungai Dajia. Karena uap air yang terbawa angin monsun timur laut dari laut lepas, terbentuklah terowongan angin di Siyuan Pass. Hembusan udara dingin semakin menusuk bersamaan dengan kecepatan kayuhan sepeda dan sesekali ada jalan menurun sembari diterpa hujan rintik-rintik, tak terhitung gigilan tubuh kami.
Setelah melewati Siyuan Pass, kami pun tiba di Taichung yaitu daerah aliran sungai Dajia. Saat berada di kilometer 48,5, hujan masih membasahi. Namun begitu kami tiba di kilometer 49, kabut pun mulai memudar dan jalanan mulai mengering. Kami mengayuh ke depan, disambut dengan terpaan sinar matahari dan dikelilingi puncak pegunungan yang hijau, serta diapit pepohonan maple merah dan pohon-pohon sakura Taiwan. Dari embusan angin dingin dan terpaan hujan yang menantang hingga udara cerah, kami seolah berada di dalam sauna. Perasaan yang tiba-tiba menyeruak keluar dalam udara cerah seperti ini, cocok sekali dengan imbauan penulis dan juga penggiat sepeda Eddie Chen “Taiwan sangat indah apalagi dinikmati sambil bersepeda”.
Langit Biru, Gunung Luas dan Merahnya Daun Maple
Di kilometer 52,5, kami pun berbelok ke jalur 124 dan masuk ke kawasan Wuling Veterans Farm. Di depan mata, terdapat hamparan bunga marigold kuning (Tagetes Lemmonii), semak Salvia Leucantha yang berwarna ungu dan lahan bunga Rapeseed bermekaran. Dari layar kamera, terekam latar belakang megahnya punggung gunung dengan deretan pohon Taxodium Distichum yang berwarna keemasan, dan dihiasi rumah bata merah berbentuk segitiga yang terdapat di dalam lokasi perkemahan. Pemandangan bagai lukisan tersebut akan membuat setiap mata tidak berhenti mengaguminya.
Awalnya area Wuling Veterans Farm adalah tempat penanaman sayur kubis. Tempat ini berdiri sebagai sumber makanan bagi para insinyur veteran, di saat pembangunan Central Cross-Island Highway berlangsung. Setelah pembentukan Taman Nasional Shei-Pa (Shei-Pa National Park) pada tahun 1992, Wuling Veterans Farm memulai kebijakan konservasi “Memulangkan Lahan Pertanian ke Hutan”. Demi mempertahankan warisan sejarah, area ini tidak lagi menanam sayuran dengan temperatur rendah, tetapi tetap mempertahankan tanaman seperti teh pegunungan tinggi, apel dan persik.
Tari Tango Bersama Kera, Menyelaraskan Ekologi dengan Ekonomi
Hanya saja dalam beberapa tahun belakangan, kera liar Taiwan (Formosan Macaques) berkembang biak dalam jumlah besar di area Wuling Veterans Farm. Buah persik dan apel yang telah ditanam susah payah oleh para petani, dijarah oleh kera-kera tersebut, belum lagi 9.600 umbi Tulip yang baru ditanam juga menjadi santapan mereka, menambah kesedihan para petani. Kerugian yang harus ditanggung pada tahun 2016 melebihi NT$ 6 juta.
Guna menyeimbangi prinsip konservasi lingkungan dengan mekanisme produksi tanaman, Pimpinan Area, Yuan Tu-chiang mengadopsi langkah tari tango bersama kera, yaitu “kamu maju, saya mundur”. Berhenti menanami tumbuhan yang digemari kera, dan mulai menanami tanaman yang tidak disukai mereka. Petani setempat mulai menanam bunga Seruni pada tahun 2014. Mereka menemukan fakta bahwa Kera Taiwan tidak menyukai wangi semerbak dari bunga tersebut. Wuling Veterans Farm pun perlahan-lahan beralih ke tanaman yang juga disebut Krisantemum tersebut. Dan pada tahun 2019, hasil produksi bunga Seruni di kawasan ini mencapai 500 kilogram.
Ketua Pemandu Produksi dan Pemasaran, Wang Ran-juh menyampaikan, kelopak bunga krisantemum yang ditanam di sini akan lebih besar dan kuning, dikarenakan beberapa faktor seperti perbedaan suhu pegunungan pada siang dan malam hari yang cukup signifikan, serta sinar ultraviolet matahari di siang hari yang sangat kuat dan air irigasi yang berasal dari Gunung Xueshan. Kuningnya bunga Krisantemum dari Wuling sempat diisukan palsu pada sebuah kegiatan pameran pertanian. Mereka diisukan telah menyemprot cairan kimia auxin dan pewarna, sehingga bunga Krisantemum Wuling menjadi kuning. Mendengar hal tersebut, staf di lapangan dengan bercanda sambil bergumam, “Jika menyemprot obat benar adanya, maka ikan nasional Taiwanese Salmon yang bermukim di Sungai Qijiawan akan mengapung.”
Taiwanese Salmon (Oncorhynchus Masou Formosanus) adalah harta berharga dari Taman Nasional Shei-Pa. Setelah melewati masa restorasi yang memakan waktu 20 tahun dan Sungai Qijiawan semenjak tujuh tahun lalu tidak lagi melakukan pelepasan ke alam liar. Saat ini jumlah Taiwanese Salmon telah stabil dengan total melampaui 5.800 ekor pada tahun 2019. Isu perubahan iklim, membuat pusat ekologi Taiwanese Salmon mengupayakan agar ikan yang takut dengan hawa panas tersebut, dapat berenang keluar dari Sungai Qijiawan. Program restorasi untuk membawa Taiwanese Salmon berenang menuju Sungai Rahao dan Sungai Hehuan tengah dikerjakan.
Di bawah hamparan sinar matahari, kami mengayuh menuju pintu masuk pendakian Gunung Xueshan. Dari sini dapat terlihat jelas garis bukit yang menjadi titik pertemuan dari Gunung Xueshan ke Gunung Dabaijian dengan Gunung Nanhu. Wisata gunung Taiwan yang “langka, menantang, terjal dan prima” dapat dilakukan di Wuling Veterans Farm.
Pesona Suku Atayal, Jalan Tua Para Pemburu
Di tengah perjalanan menuju Lishan, kami melewati perkampungan Sqoyaw (Huanshan) dan Slamaw (Jiayang). Barisan pohon pir dan pohon kesemek mewarnai perjalanan kami. Atas rekomendasi dari Tri-Mountain National Scenic Area Administration, tim “Taiwan Panorama” secara khusus mengunjungi Kepala Suku Atayal, Buyang Mekax. Kami memintanya untuk memimpin perjalanan, guna menjelajahi misteri batu basal dan jalan setapak Saoulu di daerah permukiman Tabuk (Songmao).
Buyang Mekax mengendarai sepeda motor membawa kami menjelajahi jalur perburuan Penduduk Asli zaman dahulu, yaitu jalan setapak Soulu. Kami menuju pintu masuk pendakian Gunung Dajian yang berada di kilometer 66,5 - Provincial Highway 7A. Batu kerikil yang terdapat di sepanjang jalan adalah jalur off-road terbaik untuk bersepeda. Selain itu, masih ada jalur yang diselimuti daun pinus berguguran, menambah lembut dan empuknya perjalanan kali ini. Di depan sana, kami tiba di lokasi yang pernah menjadi tempat pembantaian Penduduk Asli oleh tentara Jepang di era tahun 1920.
Pemandangan lembah Sungai Dajia menghiasi perjalanan kali ini dan panorama misteri batu basal tepat berada di depan mata. mengikuti jalan terjal untuk menyusup masuk ke dalam lembah. Buyang Mekax pun mengeluarkan alat musik yang mahir ia mainkan, yakni genggong. Dari empat versi kisah Suku Atayal, cerita yang paling mengharukan adalah di saat tangan Tuhan menyelamatkan Buyang Mekax.
Pada bulan Maret 2019, Buyang Mekax datang kemari untuk memancing dan tanpa disengaja dirinya terpeleset ke lembah sedalam 70 meter. Dengan rasa takut, ia berkata, “Saat itu di sekitar saya semuanya adalah batu stalagmit. Saya terjatuh di atas lempengan batu. Tidak lama kemudian, saya pun terbangun dari pingsan. Di antara setengah hidup dan mati, saya pun berseru kepada Tuhan yang saya percayai. Saya baru menyadari jika sekujur tubuh terasa sakit, apalagi saya tidak membawa ponsel. Di tengah gunung yang sunyi sepi tanpa manusia, saya pun merangkak 150 meter selama 2 jam untuk meminta pertolongan.” Setelah dibawa ke rumah sakit, tim dokter menyampaikan jika 5 tulang rusuk Buyang Mekax dalam kondisi patah.
Mendengar kisah Buyang Mekax yang selamat dari kematian, membuat orang-orang merasakan betapa berharganya nilai kehidupan. Cerita tersebut juga menyemangati kami untuk terus bergerak maju menuju titik terakhir, yakni Lishan Guest House yang terletak di Provincial Highway 7A.
Paparan aura Dewa yang bersemayam di pohon-pohon tua serta rangkulan indahnya pegunungan, membangkitkan vitalitas kami untuk segera merencanakan perjalanan berikutnya.