Pelestarian Perkebunan Teh Gunung
Demi Kesinambungan Ekologi
Penulis‧Esther Tseng Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Maria Sukamto
Agustus 2020
我們隨著茶山保育協會創會會長蔡奕哲,走訪阿里山太和村的茶園,從復育的生態茶園,發現與大自然共生共榮的美好;從坪林有機耕種的茶園,看見保護水源的理想,採自生態茶園的茶菁,經過發酵、烘焙做出來的茶,喝得到土地的滋味。
Menyertai Tsai Yi-tze pendiri Asosiasi Pelestarian Teh Gunung menjelajahi kebun teh ramah lingkungan di desa Taihe Alishan yang berada di gunung Ali, kami menemukan keindahan kehidupan harmonis yang berbaur dengan alam. Dalam kebun teh organik di Pinglin, upaya melindungi sumber air dengan baik, dapat dibuktikan ketika kita meneguk air teh dari pucuk daun teh ramah lingkungan yang telah difermentasi dan diproses, kita merasakan ada kandungan aroma lahan yang semerbak.
Ketika mengitari lereng gunung yang dimulai dari Provincial Highway 18 dengan melintasi danau Fengqi, di tengah nuansa hening khas hutan gunung Ali, kita seolah berada dalam rangkuman pepohonan Fir Tiongkok yang tumbuh tegak, setiba di desa Taihe dengan ketinggian 1.445 meter dari permukaan laut, terpampang di hadapan mata, sebentang panorama kebun teh luas yang memicu sukacita di dalam batin.
Kedai teh “Kuliner Liar” dalam “kebun teh hutan” yang tersembunyi di pegunungan, tidak terbuka untuk umum dan hanya melayani sahabat, dimiliki oleh petani teh Jian Jia-wen, membuat pengetahuan saya tentang kebun teh benar-benar terputarbalikkan. Aroma semerbak teh yang tumbuh liar ini masih terasa manis meskipun sudah diseduh tujuh hingga delapan kali, sungguh menakjubkan sekali. Pohon Teh Gunung Taiwan dan Teh Oolong yang ditanam Jian Jia-wen tumbuh tersembunyi di sela-sela pepohonan Trema orientalis, Cinnamomum kanehirae dan Michelia compressa.
Tanaman bunga liar Kipait dan Krisantemum Alishan bermekaran di sana-sini dan lumut kerak merambat pada batang-batang pohon teh gunung. Pohon teh gunung ini bisa tumbuh tinggi hingga enam bahkan tiga belas meter, di mana pemetikan daun tehnya dilakukan dengan memanjat. Pohon-pohon teh ini membaur dalam hutan menciptakan suatu nuansa hutan yang istimewa sekali.
Penanaman secara liar, dibiarkan tanpa memotong ranting, tidak berpupuk, tidak berpestisida, pelestarian ekologi selama sepuluh tahun telah memulihkan alam kebun teh penuh dengan katak Moltrecht (Rhacophorus moltrechti) yang sangat peka akan degradasi habitat, laba-laba sang pemangsa yang bergelantungan di atas dahan, dan suara kicauan burung-burung khas Taiwan seperti Steere's liocichla (Liocichla steerii) dan white-eared sibia (Heterophasia auricularis).
“Banyaknya jenis burung, serangga, dan tumbuh-tumbuhan adalah suatu bukti keautentikan kebun teh yang ramah lingkungan.” Demikian dipaparkan oleh Tsai Yi-tze, pakar teh yang berpakaian bahan katun dan menggalakkan perkebunan teh ramah lingkungan.
Biarkanlah Lahan Berbicara Sendiri
Bagi petani teh, Jian Jia-wen dan Ye Ren-shou yang menerapkan metode pertanian alami, semua ini berawal dari amukan angin taifun Morakot pada tahun 2009 di kawasan gunung Ali. Dalam waktu lima hari turun hujan lebat dengan curah hujan berkapasitas untuk setahun, hujan dahsyat ini mengakibatkan tanah longsor, bebatuan gunung ambruk bahkan tanah gunung bergeser. Bencana taifun mengakibatkan kerusakan besar bagi permukiman, membuat manusia mulai menyoroti hubungan interaksi antara manusia dengan lahan. Jian Jia-wen tidak menghiraukan larangan keluarganya, menerapkan sistem penanaman teh secara liar.
Setelah melewati masa empat hingga lima tahun, lingkungan kebun teh milik Jian Jia-wen telah menjadi sebuah ekosistem, predator ulat semakin banyak, apalagi pohon-pohon teh yang ditanam secara liar, tercipta mekanisme ranting dan dahan saling berlindung, daun teh menjadi beraroma lahan asli, menurut Jian Jia-wen inilah keakraban alam jika kita menurutinya. “Alam semesta sungguh menakjubkan!” lanjut Jian Jia-wen.
Seorang petani teh yang lain, Ye Ren-shou, juga tergerak menerapkan pertanian alami karena dampak bencana taifun Morakot. Ye dalam hantaman bencana tersebut, menyaksikan sendiri sahabatnya tewas, kebun teh yang berusia tiga puluh tahun lebih terseret 200 meter ke bawah oleh luapan tanah longsor. Kebun teh yang terseret ke lahan milik orang lain ini, malah bertumbuh subur. Hal ini membangkitkan rasa introspeksi Ye, ia mulai menanam teh secara liar, dari lahan seluas dua ribu meter persegi hingga satu hektar, menghasilkan teh ramah lingkungan.
Kondisi daun teh yang buruk berlubang-lubang akibat gigitan ulat, banyak rumput liar di bawah pohon tehnya, sungguh luar biasa di mata para warga desa Taihe yang 90% adalah petani teh. Berbagai macam ejekan kepadanya seperti “Orang tak becus”, “Dia sudah tidak waras” tidak menggoyahkan semangatnya, Ye Ren-shou bertahan dengan selalu meyakinkan dirinya : “Aku adalah orang normal.”
Jian Jia-wen dan Ye Ren-shou mendapatkan hikmah dari penerapan menghormati alam, mereka menerima pencerahan dalam bersahabat dengan alam, keduanya menyadari kekuatan alam tidak hanya merusak dan melenyapkan saja, tapi juga memberikan anugerah kehidupan.
Mengambil contoh hasil panen teh musim dingin Ye Ren-shou yang tidak berkurang malah bertambah pada 2018, dalam waktu yang sama banyak kebun teh yang memakai metode pertanian konvensional menurun hasilnya, terdampak oleh cuaca yang sangat dingin. Cara pertanian liar bertahun-tahun yang diterapkan Ye telah membuat pohon tehnya kebal. Ye Ren-shou menambahkan, “Kebun teh ramah lingkungan ini lebih mampu beradaptasi dengan dampak perubahan cuaca.”
Berdampingan dengan Petani Teh, Melestarikan Kebun Teh Gunung
“Minum teh sama dengan meminum lingkungan.” Tutur Tsai Yi-tze, pakar teh yang telah berkecimpung selama dua puluh tahun dengan para petani teh. Pada 1996 ketika Tsai Yi-tze sedang berburu teh di daerah Bishi Desa Xinyi, Kabupaten Nantou, angin taifun Herb mengakibatkan air Sungai Chenyoulan meluap drastis secara tiba-tiba, dan dalam sekejap melongsorkan rumah tempat rumput yang berada di sampingnya, ketika menyelamatkan diri dari malapetaka, ia terjebak di pegunungan, selama sepuluh hari lebih dan tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar.
Pengalaman hidup yang tak terlupakan ini memberikan pelajaran berharga bagi Tsai, yaitu betapa pentingnya upaya konservasi lahan dan air, serta menyadarkannya akan pelestarian teh gunung yang tidak bisa ditunda lagi. “Pelestarian teh gunung dimulai dari menarik partisipasi konsumen dan menemani para petani teh”, setelah menjajaki bertahun-tahun, setapak demi setapak memperkenalkan idenya kepada petani teh dari Pinglin sampai Shiding; dari Mingjian hingga Sun Moon Lake, Nantou. Lalu dari daerah Alishan hingga Gaotai di Taitung. “Yang namanya mendampingi sebenarnya adalah menyadarkan para petani generasi sekarang untuk mengingat kembali cara penanaman teh di zaman kakek dan nenek mereka dulu. Di saat yang sama juga menormalkan lahan kembali dengan tidak memakai pupuk kimia dan pestisida.” Setelah diuji, mengelola lahan kebun teh dengan sistem pertanian alami dapat menghasilkan titik seimbang antara produksi dan lingkungan.
Kebun Teh Organik, Pelestarian Ekologi
“Saya tidak menanam teh, saya hanya melestarikan lingkungan saja!” tutur Yu San-he, pemimpin grup pemasaran dan produksi teh kawasan Pinglin, Kota New Taipei periode ke-7 yang mulai menerapkan pertanian alami semenjak tahun 2010. Yu San-he mengeluarkan serpihan teh musim dingin, dan dengan mata berbinar-binar ia mengatakan, “Saya beralih ke pertanian organik, tidak hanya telah melindungi lingkungan saja, tetapi membuat saya panen besar dengan teh musim dingin yang sangat berharga.”
Yu San-he menjelaskan ketika beralih ke perkebunan teh ramah lingkungan, ia mengalami penurunan produksi, dan yang paling celaka adalah “kontaminasi dari kebun tetangga”. “Empat, lima tahun lalu seorang petani tanpa sengaja mengatakan bahwa daun tehnya baru bisa tumbuh setelah ia semprot pestisida tiga kali. Baru saya tahu kalau pemakaian pestisidanya begitu banyak, akibatnya ulat-ulat lari ke kebun teh saya, pantas kebun teh saya ludes dimakan ulat.” Untuk mengantisipasi tetangga memakai pestisida, Yu San-he sengaja tidak memetik daun teh pada bulan Agustus, menunggu tetangga menyemprotkan pestisida pada bulan September. Karena daun teh sudah tua, ulat-ulat dari tetangga tidak suka makan daun yang sudah tua, tunggu lagi sampai bulan Oktober, ketika tunas daun baru mulai tumbuh, dan itulah masa tepat baginya untuk memetik daun teh musim dingin.
Yu San-he juga pernah mengalami masa-masa krisis produksi, merugi, dan bertahan hidup dari kredit ke Asosiasi Petani, tetapi habis gelap terbitlah terang, Yu San-he mulai meraup hasil gemilang dan berkesinambungan, seperti daun tehnya yang tegar, terutama teh putih dan teh kuning, yang ringan dan semerbak air tehnya, ketika usai diteguk, rasa manis dan harum masih tersisa di mulut.
Terdapat 1.000 hektar lebih perkebunan teh di hulu waduk Feitsui, tersebar di daerah Pinglin dan Shiding, 90% masih memakai sistem pertanian konvensional, pemakaian pupuk dan pestisida berlebihan dalam jangka waktu panjang, menyebabkan peningkatan keasaman tanah, hal ini dikhawatirkan akan mempercepat eutrofikasi waduk. Selain Yu San-he, 30 petani teh dari grup organik ke-7 dan ke-8 Pinglin, berupaya melestarikan lingkungan kebun teh, meredakan dampak buruk pertanian konvensional bagi waduk Feitsui.
Demikian pula perintis Taiwan BlueMagpie Tea, Huang Bo-jun, menggunakan konsep “Pemulihan Lembah Sungai”, pada 2013 berhasil meyakinkan 3 petani teh Pinglin dan sampai sekarang sudah ada 14 petani teh bergabung dalam gerakan tidak memakai pestisida dan pupuk kimia.
Huang Bo-jun menggunakan label “Ramah Lingkungan” untuk mendorong pola pemasaran seperti perusahaan menjadi sponsor, berwisata ke kebun teh, melalui perusahaan yang peduli tanggung jawab sosial, partisipasi konsumen, dan bersama sama menggalang pola hidup menikmati teh yang ramah lingkungan.
Minum teh adalah sebuah perwujudan gaya hidup alami lokal, juga sebuah sikap dan estetika hidup.Ketika kita melakukan konservasi dan menggunakan teknik pengolahan tanah ramah lingkungan, alam akan menghadiahkan kita dengan kesegaran prima dari secangkir teh.